Mencari TanganMu

Angin biru beku menampar airmataku
Bisikan Michel-de-Nostredame terdengar dari Provence
Bait-bait pamungkas quatrainnya ke-100 (abad VIII)

Peur l’abondance de larme respandue

Du hault en bas par le bas au plus hault
Trop grande foi par jeu vie perdue
De soif mourir par habondant default

Keyakinan mana yang harus kupegang?
Keyakinan apa yang ingin kupercaya?
Sebuah palung besar ada di hadapanku
Tak mampu mengurai airmataku
Semakin lebar
Air tumpah membanjiri kakiku
Beku
Tak mampu bergerak
Pupil mataku membatu
Tak mampu melihat uluran TanganMu
Notre-Dame, 2003



Bahkan di Paris, Pun

Sosok cantik berhidung bangir khas ras Eropa Timur atau Asia Tengah, menunggu.
Hanya semeter dari pintu masuk kedai waralaba di kawasan Marais
Berlutut mengatupkan tangan dengan kepala tertunduk.
Kepalanya berbalut kerudung. Asap berkepul di sekitar hidung dan bibirnya yang tak henti berkomat-kamit seperti merapal do’a.
[Suhu dingin membuatku segera melapisi kedua tanganku dengan sarung wol tebal]
Tubuhnya berlapis rajutan kumal.
Di dadanya tergantung tulisan, “Saya lapar”.
Orang-orang lalu-lalang terkadang berhenti terpana melihatnya, merasa tak nyaman dengan kehadirannya, mengangkat bahu sejenak dan berlalu.
Aku telah akrab dengan situasi ini sejak dua jam lalu
Berteman secangkir kopi kental panas dan lembaran buku kecilku.
Dua jam berlalu dan aku melihatnya masih di posisi itu.
Sudah berapa butir cent dikumpulkannya dalam bisu?
Sementara orang-orang sibuk menaikkan kerah dan baju hangat mereka menutupi leher,
perempuan muda itu masih terpaku di situ.
Masih hidupkah ia?
Karya Kandinsky masih lebih hidup dan bergerak
Meski hadir di atas kolam dekat sini
Tak jauh dari Centre Pompidou
Voilà, inilah performance-art dalam dunia yang nyata.
Aku terkagum.
Tiba-tiba tubuhku melayang,
terlempar dari meja nyaman di dalam ruang,
keluar terhempas ke arah sosok perempuan itu.
Jiwaku menggigil. Rohku bergetar kuat.
Gigiku bergemeletuk.
Aku lapaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrr…..!!!
Beauborg, 2003



Kenapa dengan Warna Kulit Kami?

Mulutku sibuk mengunyah lardon
Bersama nasi putih dan sambal, hmmmh… sungguh nikmat
Potongan-potongan dadu kulit-dalam daging babi kering asin
(Yang seharusnya hadir bersama salad)
Kusantap hangat-hangat di depan penggorengan
Sambil memandangi merpati-merpati putih
Bercengkerama dan mematuk-matuk di balik jendela dapur
Menghilangkan sejenak rasa kesal dalam dada
Setelah beberapa panjang langkah jalanku hari ini
Masih teringat segar
Seorang lelaki tua bule pucat memasuki halte bus kota
Ingin bertanya tapi tak bertanya
Padaku mau pun beberapa perempuan remaja berlkulit hitam di kananku
Sementara kebingungannya terlalu nampak
Mencari nomor bus tujuannya, matanya mencari-cari info di denah kota
Sambil beberapa kali melirik pada kami
Dengan sudut matanya yang sinis dan tak ‘memandang’
Hingga akhirnya seorang perempuan muda masuki halte
Yang dengan serta merta dihampiri si laki-laki tua tadi
Dan bertanya kepada si pirang cantik
Selaku sesama makhluk bule pucat
Oh la la…
Aku dan para remaja hitam di sebelahku saling berpandang
Saling mengangkat bahu dan mencibir bibir
Sungguh puritan dan rasialis! Di Paris ini?
Hôtel de Sully, 2003



Kencan Tak Bertepuk

“Katakan saja bila Anda sudah tidak bersamanya lagi, just call me,” kata seseorang jangkung dari Amerika sambil melirik sosokmu di seberang meja.
Aku ternanap.
Pembicaraan yang menarik bersama para tamu lainnya di ruang Hôtel-de-Suly menjadi melayang. Hampa.
Topik tentang Mondigliani menjadi entah kemana.
Pria itu pun memberiku sebuah kartu nama.
Aku menerimanya dengan enggan.
Hingga di suatu hari.
Dua tiket gratis dari Monsieur Chérif Khaznadar yang simpatik, hampir usang.
Tiket seharga duaratus ribuan per orang menjadi beban.
Tak mau, katamu di jauh hari.
Karena acaranya tentang tari Bali? Tanyaku dan enggan kau akui.
Kuhubungi teman-teman Indonesiaku, mereka pun ogah.
Yaah…, bosan mbak, kata mereka. Nonton di Indonesia saja, mendingan.
Lalu kuhubungi beberapa mahasiswamu yang kukenal.
Mereka sudah punya tiket juga.
Lalu kuingat pria itu. Kuhubungi via e-mail, dan ia pun langsung oke.
Aku ingin sekali ke Indonesia.. I wish some day, katanya.
Di saat berangkat,
kau tiba-tiba berkata… aku ikut deh ke Maison-des-Cultures-du-Monde.
Aku pun bingung.
Ingin selalu hadirmu di sisiku.
Tapi aku sudah janji dengan orang lain, kataku.
Oke, katamu.
Aku pun pergi dan terdiam sepanjang jalan.
Sang pria Amerika telah menanti penuh mesra dan gallant.
Hatiku mulai berdegup. Ini sebuah kesalahan, batinku berkata tanya.
Duduk serasa bersama kompor menyala
Tangannya selalu berupaya bersentuhan denganku
Mari minum wine sebentar, ajak pria itu usai tiga jam acara
Karena ia sangat berterimakasih dan ingin membayarnya dengan sebuah dîner
Oh, tak perlulah…, kataku. Aku harus pulang
Bayangan wajahmu menantiku di depan pintu.
Pria itu memandangku dengan rasa tak enak
Oke, aku pesan margarita
Kafe Mexico di ujung jalan Raspail menjadi detik-detik kekejaman bagiku
Obrolan ngalor ngidul tentang presidennya yang psikopat,
perang Irak dan sebagainya
Tanganku bersembunyi di balik taplak meja.
Agar tak berselisih dalam sambaran sentuhannya.
Ah, sudah malam… nanti kita ketinggalan kereta terakhir, kataku.
Pria itu menatap lekat dan berkata ‘baiklah..’
Kuhela nafasku dalam-dalam
Di lorong stasiun, pria itu say goodbye
Kujabat tangannya
Tiba-tiba ditariknya tubuhku dalam pelukannya, kuat dan lama
Kutunduk segera wajahku
Oh…, jangan ada cium di bibir
Lalu dipintanya ijin mencium pipiku, sebagaimana antar kolega, katanya.
Baiklah, kataku
Akulah perempuan tercantik yang ada di semua ruangan, kata pria itu
(terbersit wajahmu menatap tajam dari balik ruang apartemen kita)
Aku terguncang dalam kereta
Vavin, 2003



Hanya Batu di atas Pusara

Kemana kita? Tanyamu.
Aku ikut kamu saja…, jawabku.
Mau lihat kuburan? Tanyamu.
Ah…., mau banget! Lihat pusara Jim Morison?! Teriakku senang.
Boleh juga, tapi tidak sekarang….., janjimu.
Sekarang kita ke Montparnasse saja, dekat sini…, lanjutmu.
Oke saja, yuk! Jawabku riang.
Aku berlari-lari kecil seperti anak perempuan kecil dengan tangan yang selalu kau genggam erat di rengkuhan jari-jarimu.
Seperti biasa, kamulah sang pemimpin jalan di Paris ini.
Empat kaki melangkah ke jalan kecil Edgar Quinet.
Lalu,..
Aku takjub.
Pemandangan indah di balik tembok tinggi berlapis pepohonan tinggi dan rindang penuh bunga. Bentuk-bentuk artistik aneka nisan di atas jasad-jasad yang telah jauh dari jiwa. Damai kurasakan di sini.
Lalu kau tunjukkan makam-makam tertentu sebagaimana leluhur bapakmu.
Tak ada sesuatu.
Hanya semen segi empat. Beberapa bongkahan batu di atasnya.
Seperti itukah kamu nantinya?
Hanya batu di atas pusara, tanpa bunga?
(aku berbisik padamu,
..aku ingin berdua denganmu dalam pusara kelak, dan penuh bunga…)
Rue Daguerre, 2003



Nonton, Yuk!

Peter Brook masih menantiku di arena teater
Aku ingin menonton karya akbar penggalan kisah Mahabharata
Serta beberapa naskah garapannya yang lain
Shakespeare, misalnya. Sangat interpretatif, kata orang
Ada 3 naskah miliknya dipentaskan di 3 teater di Paris sini
Masih juga lekat di ujung hidungku
Wajah Marcel Marceau dalam pupur tebalnya
Aku ingin menikmati tiap gerak mime dan slapstiknya
Yang pernah hadir di Indonesia
Di awal tahun ini ia menggelar karya terbarunya
Di pojok kota kaki Eiffel ini
Atau juga Le Petit Prince yang segera main
Di ruang teater di Paris atas
Karya Antoinne-d’Exupery ini sangat memikatku
Kala ku masih kuliah di Bandung tempo dulu
Kudapat di loak tepi sungai Cikapundung
La Malade Imajinaire juga tengah berlangsung
Di sebuah passage di jalan kecil Quincampoix
Ah, rinduku melihat karya Molière dimainkan di sini
Masih adakah waktu untukku
Untuk menuntas hasrat seniku
Di sini? Bersamamu?
Centre Pompidou, 2003

No comments: