Kumpulan Puisi, Prosa dan Foto

Melayang

Mmmhh….
Terbanglah aku dalam pelukanmu
Segera, kasihku…

Lelaki di sebelahku mengajakku bicara
Sendiri, tanyanya
Ya, jawabku sambil menyantap masakan Arab di pingganku
Kemana, tanyanya lagi
Ke Paris, jawabku
Oh, sama, katanya. Ia rindu keluarga.
Ada kenalan di sana, tanyanya sekali lagi
Oh, ya..tentu
[wajahmu yang tirus segera membentang di kelopak mataku]
aku tersipu dan lelaki itu tahu
Segera menikah?
I wish.., jawabku makin dalam sipu
Kuala Lumpur berkelip-kelip tinggal titik-titik cahaya
Dubai menjadi halte terlama
Untunglah ada teman bercakap di seberang jok kosong kananku
Selalu mendampingiku
Lewati duane, dalam antrian begitu lama dan panjang
Hanya ada satu gate, katanya
Kulihat lainnya dalam perbaikan
Ayo, kita minum sebentar, ajaknya menunjuk beberapa kafe
Ah, tidak.. terima kasih
Aku ingin berkelana sebentar di bandara sebesar ini
Dalam subuh indah bersama bayangmu
Seleret cahaya matahari pagi mulai menyeka malam butaku
Kusiapkan overcoat dari seorang sahabatku di Surabaya
Gundukan es berlapis-lapis tergelar lebar di balik jendela
Sebotol kecil vin menemaniku
Wow, derai nafasku beraroma karbonat
Aku melayang
Lalu
Pandang indah putih bersinar pun berlalu
Roissy dalam kelabu
Pucuk-pucuk pinus terdiam dalam kabut
Seorang gadis Australia dan pacarnya berseru kagum di jok belakangku
Oh, indahnya…katanya
Sejenak aku termangu
(tak kutemukan kebenarannya!)
Ada yang berhenti dalam dadaku, sendu
Aku tak mengerti
But, anyway
Here I am!
Aku berduyun-duyun senang, dalam sosok-sosok jangkung
Lewati lagi para duane serta sekian pertanyaan
Lelaki sebelahku mengantarku mencari bagasi
Ah, untunglah ketemu semua
Lihat, peta Indonesia yang kau pesan sudah bersamaku
Begitu panjang bagai sebuah lembing
Melesat dan melayang!…. lewati benua demi benua…ke arahmu
Charles-de-Gaulle, 2002



Buta

Pandang penuh putih
Di bawah kepak sayap pesawat terbangku
Berkilau
Menyilaukan mata hatiku
Aku terbuta
Aku telah seia
Pada sebuah pinta
Merajut sutra
Bersama
Di langkah berdua
Dalam satu rasa
Satu nada
Satu cita
Satu cinta
Semata, demikian kau kata
Tangan dan kakimu siap melangkah pergi
Menuju huma kita
Aku pun sekata
Dan semakin terbuta
Emirates Airways, Des’ 2002



Kucium wajahmu di Roissy

Meski kulihat wajahmu kuyu & lelah
[Selelah hatiku kemana pada hati yang tulus!]
Kucium wajahmu saat ini
Bayang indah bunga mawar merah muda merekah
Hadir (s’lalu) dalam lubuk hatiku
Mataku penuh kembang warni
Semerbak baunya, melayang dan melekat
Tak lekang jaman, serasa..!
Kucium wajahmu (tak pernah terbersit sebelumnya)
Dalam bentangan sayapku
Yang telah melampaui setengah bumi ini
Melesat di atas perbukitan putih luas
Menuju sosokmu (yang tak pernah kusuka tadinya)
Dengan pandang pasti
Merengkuhku dalam ayom
Bagai memasuki sebuah chateau
Senyumku tak pernah henti
Mengukirkan kalimat : Je t’aime, mon amour
Charles-de-Gaulle, 2002



Bien Venue!

Paris menyambutku penuh hujan rintik
& tubuh-tubuh tinggi menjulang dalam manteau mereka
[aku seperti dikelilingi para malaikat asing
dengan seribu satu tugasnya]
aku
tak ingin terjebak
kedinginan akan waktu
tak tentu
selalu berpusar
dalam arus yang tak tampak
aku
bagai memasuki hidup
tak kasat mata
begitu maya
sosokmu kulihat tenggelam
di antara tubuh-tubuh tinggi itu
engkau,
malaikat yang mana?
[aku hanya ingin bahagia]
Roissy, 2002



Langkah Awal

Plakk!!
wajahku tertampar angin dingin
di detik aku keluar dari bandara Roissy
begitu keras dan mengejutkan
tanganku beku
tertatih berusaha mencengkeram tas dan koperku,
sambil tak peduli pada pucuk-pucuk pinus berlambaian
berjajar di sepanjang jalan bandara
Ow, Paris begitu berkabut dan abu-abu
di luar sudut utara ini berwarna dingin
tiba-tiba rasa hangat melayang pergi dari dadaku
tak sebotol vin pun mampu mencegahnya
atau
estimasiku terlampau tinggi
dan ekspetasiku terlampau menjulang jauh ke depan
melampaui batas nisbi
kekuatan manusia
dan skenarionya
tak pasti
Charles-de-Gaulle, 2002



Tibaku di Porte-d’Orléans

Tubuhku kuyup
Memasuki apartemen di ujung selatan kota Paris
Ya, ampun…masih ada 5 lantai lagi (!)

sejuta voltase ada dalam darahku
aku menggigil atas nama cinta
kau bopong aku memasuki pintu itu, seperti pintaku
ingin kurasakan lagi dan lagi
cintamu yang kuharap tak kan pupus
bau cat & pelitur tajam menusuk hidung
debu tembok menguar
tapi ruang kuno ini telah menarik hatiku
kuciumi cintaku di sini
meski dingin menyengat
angin lewat kisi-kisi jendela rusak berderak
kubisikkan pada sosok yang tengah berlutut di hadapanku
kupandang lekat matamu yang memohon
kunikmati ciumanmu di sekujur punggung tanganku
Oui, mon amour..
Je t’aime aussi…”


Paris, 2002




Meremas Wajahmu

Dalam detik yang kugenggam
Kuremas wajahmu
Dan kuusapkan dalam jiwaku
Agar kurasakan getar bening rasa cintamu
Cinta kita
Dalam cita-cita kita
Betapa indah memoar-memoar itu
Ingin kuhidupkan kembali dari tidurnya
Terasa tanganku masih membelai
Salju-salju yang tengah melayang
Menerpa wajahku
Lewati jendela dapur kita
Begitu sejuk dan penuh harapan
Bayang-bayang pasti menjelang
Bangunan Palais d’Amour milik kita
Hanya kita & anak-cucu kita
Prisse-d’Avennes, 2002



Aku Luruh dalam Dekapan Paris

Serabut putih dingin menerpa wajahku
Mencair bagai es lilin
Kujilati bagai kanak-kanakku dulu
Kaki 40 tahunku melompat-lompat riang gembira
Seringai ria tak lepas tersungging di bibirku
Mataku berbinar-bintang
menggenggam tetesan salju melayang
Tanganku melambai gapai ribuan burung
Kutukarkan rasa senangku pada remah-remah roti
Puluhan paruh sibuk mematuk-catuk
Sayap yang terdiam dan pinggul yang melenggang
Ke sana dan kemari, tak lelah
Genit dan gesit melenggok mencari serpihan roti
Di sela-sela kursi
Roti baguette yang kau beli beberapa hari yang lalu
Kini kering tak terjamah lagi
Kecuali oleh puluhan merpati gendut ini
Aku terpukau
Tak ingin berakhir

Rue-de-Rivolli, Desember 2002




Ranting Kering

Ranting bercabang indah di tiap pohon
Tak kulihat daun selembar pun
Cahaya bulan berarak lewati sudut-sudutnya
Betapa cantiknya
Jalanan panjang membentang berkilauan
Lelampu dan kendaraan lalu lalang
Bintang-bintang bercahaya
Hatiku berkelip-kelip
Merasakan kerlip cintamu
Hangat di dada
[meski kaki & tanganku mulai membiru kaku]
Paris, 2002



Mimpi?

serpih-serpih salju mulai berhamburan
mulai terasa ‘Paris’ dan hawa Eropa di sekitarku
kubuka lebar ‘jendela’ku
kuraih serpih-serpih salju melayang
seperti ribuan peri putih beterbangan
kucecap, kurasakan bahwa ini nyata
bahwa cintaku bukan mimpi
atau pun sekedar angan
aku di sini
bersama cintaku
yang siap merengkuhku
mengangkatku dari puing-puing kehancuranku
siap membangun mahligai
berdua
bersama
kekal abadi
[kupandang tak percaya, wajahmu penuh kesungguhan
bersimpuh di kakiku
dan melamarku sekali lagi
memohon kepastian dariku]
Prisse-d’Avennes, Paris di 2002



Setiap Pagi yang Buta di Paris

pagi buta jam 7
siap makan pagi & mandi
dalam kebekuan menuju titik nol derajat
kumamah roti panggang berlapis keju dan madu
kusruput kopi-susu-manis serta yaout
dan segelas jeruk peras darimu
pagi buta jam 8
tubuhku telah wangi
dan bersiap diri
dengan manteau tebal dan berat bermerk mahal
sepatu membalut kakiku yang mulai membengkak
pagi buta jam 9
bagai subuh dini hari di Jakarta
kulangkahkan kakiku cepat
bersama langkah-langkah seribu para pekerja
di sepanjang jalan Général-Leclerc
masuk dalam gorong-gorong stasiun metro
menuruni trap-trap berkelok-kelok
asap putih tebal menguar dari tiap lubang tanah
aku mulai terhisap dalam pusaran
Paris 14, 2002



Manusia Gorong-Gorong

naik metro artinya :
kumasuki tanah berpuluh-puluh meter ke dalamnya
menembus bagai Antareja
melesat bagai Antasena
di antara dalamnya sungai Seine
yang jauh di atasku
atau
yang jauh di bawahku
aku terpesona
bahwa aku telah jadi manusia gorong-gorong di Paris
[seperti terseret di sebuah kota tikus

akukah si tikus itu?
sibuk mengerat sepotong cinta? cintaku bagai jamur di lorong-lorong gorong-gorong sepanjang-lebar kota Paris]
Stasiun Metro, Porte-d’Orléans, Paris, 2002



Selamat Pagi

Bergegas kunaiki bus nomor 38 ke arah Châtelet
Bonjour, monsieur….”
Bonjour, madame…
Bonjour, madamoiselle…
Merci…
aku ingin berhenti
di Jardin-de-Luxembourg
ingin kurasakan angin dingin meniup
di antara pokok-pokok ranting
dan bongkahan beku salju di jalanan
tapi aku tak ingin berhenti
kau genggam tanganku s’lalu
dengan sepenuh hatimu
aku bergegas kembali
mencari wajahmu
dan ingin segera
menggenggam tanganmu, s’lamanya
St.-Michel, 2002



Hei! Ketemuan yuk!”

Suara ceria Tiarma Dame Ruth Sirait meletuskan percik api semangatku sebagai sesama wong Indonesia.
Gagang telepon ini tak jadi dingin. Deringnya serasa merdu.
Sementara tanganmu sibuk merengkuhku, membelaiku, tak bisa diam
Bertanya siapa itu di seberang kabel sana.
Suara di sana kembali mencairkan salju beku di tepian jendela
Aku pengen jalan-jalan pake bus yang tingkat atas dan outdoor, kata koncoku dari Bandung di seberang sana.
Hahh? Kataku, dingin-dingin begini????? Gile lu! komentarku
Ampun deh… aku masih shock dengan cuaca yang menamparku ini. Lagi pula, aku baru tiga hari di sini! Aku ga tahu harus kemana dan dimana sekarang ini di bagian Paris. Peta kota pun belum kujamah.
Celetukmu mengantar solusi. “Ayo, kalau mau ke sana aku antar kamu dulu, baru aku ke radio.”
Ah, ya… sekaligus wawancara ya, tanyaku. Kau pun mengangguk dan setuju temen artisku ini masuk dalam berita di radio tempatmu nyambi kerja.
Maklum, ia tengah diundang hadir dalam peristiwa lomba fashion di Paris dan celotehnya riang saat cerita ketika ketemu dan bersalaman dengan Pierre Cardin dan sebagainya. Aku sangat turut gembira mendengarnya. Jiwa jurnalisku tiba-tiba menggelegak.
Aah…, tapi cuaca begini dingiin… Badanku tak sanggup bergerak, kaku dan jemariku tak bisa rasakan apa-apa, memegang gagang telepon pun jadi susah dan gemetar.
Aku bingung lagi. T’us pulangku gimana? Tanyaku lagi. Kau jemput? Gampang, katamu. Kamu bisa naik bus kota dan berhenti di Alesia. Alesia itu mana?? Tanyaku kalut. Ah…, aku gamang sekali mau berangkat. Sungguh aku terlalu takut tersesat, tak mampu yakinkan diri. Bingung sendiri.
Akhirnya aku berteriak pada si performance artist di sana. Ga jadi deh…, sorry…! Kupandang diriku penuh kesal.
Paris, 2002



Rendevous

pias wajahku
terasa kelu
telah lebih bermenit-menit kutunggu
di stasiun métro St.-Michel, langit telah gelap
dirimu tak juga nampak
(ah, ternyata stasiun sedang dalam perbaikan)
aku takut dan panik tak dapat jumpamu
meski kita telah seia dan sekata
aku bergegas menuju Cité
berlari lagi ke Châtelet-Les-Halles
berbalik lagi ke Cité
kulewati Pont-du-Neuf berkali-kali
patung-patung bisu di gereja Notre-Dame tertawa
menyakiti gendang telingaku hingga dalam metro
lalu, tiba-tiba ayunan kereta berhenti
di pintu yang sama kau mencoba masuki metroku
wajah kita bersirobok, aku terpana tak percaya
segera kuhamburkan diriku ke dirimu, dadamu hangat
betapa takutnya aku kehilangan dirimu
[aikon-aikon ini, ya Tuhan!]
Hôtel de Ville, Paris, 2002


Do’a

Diam seribu bahasa
dalam kubah agung Notre-Dame
kulihat patung-patung suci bicara
kudengar nyanyian surga
kuraba dengan hatiku
kesyahduan itu
(tak rasa…)
sinar berpendar warna-warni
seleret emas cahaya sore
tampilkan
karya agung
Da Vinci dan kode rahasianya
lewati jendela-jendela kaca mozaik
sisi-sisi kubah di atapnya
serta lilin-lin kecil bertaburan di tiap ruang dan sudut
segera aku berdo’a
agar kisah cintaku tak pernah habis
hanya di sini
aku ingin
cinta ini tetap bersemi
abadi
dalam sebuah mahligai
Cité, 2002






Les-Halles > Cité > Saint-Michel








Kakiku bergegas meninggalkan apartemen. Aku bagai meluncur di 7 lantainya secara manual. Jejakan kakiku menapak bagai Tap Dance. Jamku menunjukkan pukul 5 sore. Kamu memintaku bertemu di stasiun metro St.-Michel dua jam lagi untuk makan malam bersama.



Paris di bulan pertama masih berselimut kabut. Hujan salju hanya kadang-kadang. Serpihan-serpihannya mengganggu pandangan mataku. Kacamataku selalu berembun di sini. Kadang aku berpikir, ingin segera mengoperasi pupil mataku agar tidak minus lagi. Atau mungkin ada kacamata temuan baru anti berembun.

Sesaat kakiku tergelincir tatkala melewati lempengan salju beku. Ah, masih dua jam lagi. Aku ingin melihat-lihat buku di toko buku Gibert Jeunes. Sedang ada pesta diskon. Aku ingin bawa pulang ke Indonesia beberapa buku sastra yang di Indonesia tidak terlalu dikenal, namun di sini menjadi karya yang selalu diperdebatkan. Jean Cocteau adalah salah satunya. Pengarang-pengarang muram yang penuh dedikasi tinggi dalam menguak jendela dan pintu-pintu kenyataan hidup yang tak pernah ada batasnya. Selalu ada kedalaman dalam setiap kedalaman, tak henti. Pikiran manusia yang selalu sibuk mencerna dan rajin mencari atau mengkreasikan persoalan baru agar selalu ada yang menjadi makanan pencernaan dalam lambung pikirannya.

Selama ini aku hanya mengenal Moliére, Victor Hugo dan Albert Camus. Tapi sejak bertemu denganmu aku mulai berkenalan dengan lainnya yang sama eksisnya berikut karakter kuat masing-masing. Aku mulai berkenalan dengan Èmile Zola hingga sutradara kontroversial Passolini, yang terkenal dengan homoseksualitasnya dan secara tragis terbunuh oleh salah satu ‘pacar’nya. Bahkan aku mulai memahami dan mencintai Picasso karena langsung melihat berbagai karya seni rupanya di museumnya, bukan di buku doang.

Kakiku berhenti sejenak. Lampu sedang merah di zebra cross ini. Brasserie di belakangku menguarkan bau sedap gratin dauphinois, kentang panggang keju sederhana makanan khas rumahan. Asap berkepul dari hidung dan mulutku. Brr…, dingin. Perutku jadi keroncongan.

Ingin aku berbalik dan antri di depan kios penjual crépes kesukaanku. Tapi, ah…tidak..tidak. Aku harus disiplin dalam soal makanan ini, karena bobotku dalam sebulan di Paris sudah naik 2 kilo lagi. Aku tak ingin semakin susah berjalan di musim dingin ini dengan bungkusan pakaian tebal berlapis-lapis. Serasa seperti burung penguin. Syal yang kupakai terasa mengganggu gerak kepalaku. Begitu juga dengan manteau panjang milik ibu tirimu ini. Ugh.., berat bo’. Mungkin seperti ini rasanya menggunakan kostum badut Ancol tiap hari. Meski pun bermerk terkenal, aku tak pernah nyaman di dalamnya. Aku tak suka modelnya, sungguh mati. Aku terkurung dalam baju oma-oma. Mais…, ga’ ada pilihan.

Lampu sudah hijau kembali bagi pejalan kaki. Aku menyeberang dan segera bergegas menuju pangkalan bus di Porte-d’Orléans. Kutunjukkan kartu langganan angkutan publik dalam kotaku pada mas sopir.
Bonjour, Monsieur..”, sapaku rutin.
Bonjour, Madame.. et merci”, jawabnya sambil tersenyum simpatik.
Aku tersenyum lega dan segera berlalu ke dalam. Untung dia tidak memperhatikan kartu yang kutunjukkan sudah tidak berlaku. Kamu pernah marah dalam soal manipulasi ini. Padahal aku hanya meniru dan mengikuti saran salah seorang teman Indonesiaku yang sedang studi strata tiga di Université-de-La-Sorbonne. Menurutmu, sebaiknya tidak melakukan hal-hal manipulatif meski pun terlihat kecil dan sepele, karena itu tetap tidak bisa dibenarkan. Aku setuju sekali dengan pikiran ini, tapi aku memang kadang malas dan lupa tidak memperhatikan tanggal berlakunya karcis. Untung saja aku tidak pernah ketahuan polisi. (Inikah penyakit akut bangsaku? Ma'af..)
Aku segera mencari tempat duduk yang strategis untuk melihat-lihat kota. Bus mulai berjalan meninggalkan pool dan memasuki jalan raya Général-Lecrec menuju ke utara.

Seorang ibu muda dan putri balitanya duduk di belakangku. Kudengar celotehannya berkali-kali,”Qu’est qu’il y a, Mamman?…Oui, Mamman..” Aku membayangkan seandainya memiliki anak darimu, aih…pasti lucu. Peranakan Prancis-Indonesia Jawa, hidung petrukmu pasti akan mendominasi anak kita dan rambut kita yang sama-sama keriting akan jadi bingkai yang menarik baginya. Aku tersenyum-senyum sendiri sambil melempar pandang keluar.

Tiba-tiba wajah ibumu yang ayu sepintas melintas menembus kaca bus. Aku ingin seperti ibumu, yang begitu kasih pada anak-anaknya namun selalu terlihat kuat dan mandiri. Tidak seperti ayahmu yang kau ceritakan sering bepergian dan meninggalkan kalian saat masih remaja dan adik-adikmu masih kanak-kanak. Namun kamu tetap hormat dan bangga pada ayahmu yang kini tinggal bersama ibu tirimu. Maklum, beliau adalah tokoh yang cukup andil dalam dunia seni di Eropa.

Ah
, tiba-tiba aku ingin bertemu dengan ibumu lagi. Ingin kuhadirkan semangkuk soto ayam hasil masakan ‘instant’ku sekali lagi. Dua kali ibumu menyantapnya, setelah sebelumnya aku dengan panik dan emosional bergelut di dapur karena sadar tengah menyiapkan masakan bagi ‘calon ibu mertua'ku. Hampir saja terjadi ‘kecelakaan’, bawang merah yang kugoreng nyaris angus dalam pan yang bergeletar menahan tanganku yang gemetar akibat nervous.

Tahu tidak, aku jatuh cinta pada ibumu pada pandang pertama. Dan makin jatuh cinta saat mengetahui beliau mau membawakan pesawat televisi jauh-jauh dari rumahnya di Bordeaux mengendarai mobil sendiri dalam kondisi hujan salju. Aku makin jatuh cinta lagi saat kakiku bengkak di jalanan ketika kita bertiga jalan-jalan bersama, ibumu dengan senang hati mengantarku ke setiap toko mencari sepatu baru yang bisa memuat kaki bengkakku.

Kupandangi jendela bus. Halte Denfert-Rochereau sudah lewat. Kini Jardin-de-Luxembourg di sebelah kiri. Ada pameran foto di sepanjang pagar kebun besar ini. Sungguh luar biasa. Pemerintah di sini sangat paham seni. Bayangkan berapa duit harus dikeluarkan untuk bisa menyelenggarakan pameran selama 2-3 bulan yang tentunya dengan memperhitungkan berbagai faktor. Antara lain bahan foto yang didisplay, lampu-lampu penerangan agar pada malam hari masih bisa terlihat, dan tahan hujan-angin, tidak luntur warna atau pun dirusak orang, dan sebagainya.

Voila
, aku harus segera bersiap-siap turun. Aku ingin jalan-jalan dulu di St.-Germain. Aku beringsut menuju pintu dan menekan tombol bus berhenti. “Pardonez, Mademoiselle..,” kata seorang ibu tua bungkuk di depanku. “S’il vous plait, Madame..”, kataku menyilakan sambil membantunya turun. “Merci beaucoup…,” ujarnya sambil tersenyum senang dan kujawab sopan,”De rien…Au revoir..”

Kakiku berjalan kembali menyusuri trotoar. Aku masuk sebentar ke toko foto, kubeli satu rol film lagi sambil bertanya-tanya ini-itu. Ah, harusnya aku membawa kamera digital saja. Tinggal jepret dan simpan di disket. Pakai film hanya bikin capek mondar-mandir tempat cuci foto dan kantong cepat terkuras habis.

Aku melangkah lagi sambil memakai sarung tangan, segera kusembunyikan rapat-rapat ke dalam saku manteau-ku. Angin dingin mulai terasa makin menusuk. Jarum jam sedang berjalan menuju angka 6. Langit mulai redup. Aku makin bergegas menuju toko buku.

Toko buku selalu ramai, meski pun ada di mana-mana. Aku masuk dan beringsut menuju kawasan fotografi dan seni rupa. Ada buku foto yang ingin kubeli dan isinya berisi seluruh alamat institusi foto di Prancis. Mataku bergerak keliling dan menuju pojok yang kukenali sebagai tempat buku-buku dan majalah foto. Aku jongkok dan asyik melihat berbagai informasi yang dihadirkan.

Sepasang sejoli muda mendekat. Tampaknya bukan orang lokal. Mereka berbahasa Inggris. Setelah berbisik-bisik, sang cewek memisahkan diri menuju mbak penjaga dan menanyakan sesuatu. Si cowok beringsut mendekatiku dan turut jongkok mencari-cari buku di rak yang sama. Tiba-tiba tangannya meraih 2-3 buku dan menyusupkannya ke dalam kantong jaketnya sambil matanya mengawasi kiri dan kanan, kecuali aku. Hatiku berdetak keras. Wah, apa nih yang harus kulakukan? Aku teringat cerita temanku yang kecopetan, pada saat ia berteriak minta tolong, si pencopet malah meneriakinya sebagai maling dan akhirnya temanku yang ditanyai polisi. Aku pun segera beringsut cepat berdiri dan menuju kasir, membayar buku dan segera keluar. Sejenak kupandangi sang penjaga yang tersenyum padaku. Ingin kukatakan peristiwa tadi, tapi lidahku kelu. Kakiku terus melangkah cepat keluar.

Jarum jam menunjukkan kurang setengah jam lagi. Akhirnya aku sampai juga di lorong menuju stasiun kereta api bawah tanah di St.-Michel. Tapi …ah, ditutup. Poster yang memberitahukan bahwa baru hari ini stasiun ini mengalami perombakan bangunan hingga seminggu lagi. Ah, celaka…. Aku pun berlari menuju stasiun terdekat. Kuseberangi Sungai Seine menuju stasiun metro Cité. Jalanan sepi, gelap dan rintik hujan mulai membasahi wajah piasku. Angin dingin menampar sepanjang 500 meter ke sana. Gereja Notre-Dame saksi bisu pencarianku. Sampai di Cité kutunggu kamu, kucari wajahmu di antara orang-orang. Tak ada. Aku pun segera ikut naik menuju Châtelet-Les Halles. Jarum jam tepat di angka 7 dan wajahmu tak juga tampak di pintu keluar di stasiun ini. Aku semakin panik.

Kucoba menunggumu di sini hingga beberapa menit. Hatiku makin tak tenang, aku pun segera menaiki metro menuju St.-Michel. Ya, Tuhan… bodoh sekali aku ini, kan St.-Michel sedang ditutup, maka tak mungkin kamu menunggu di sana. Aku beringsut berdiri di depan pintu pertama agar segera terlihat olehmu atau pun sosokmu cepat terlihat olehku. Meski pasrah, aku jadi bertanya pada Tuhan. Apakah ini ‘tanda’ yang tengah Kau beritahukan padaku? Tentang hubungan kami? Please, Tuhan…jangan pisahkan kami…

Kereta berhenti di Cité dan aku sudah bersiap-siap dengan simpanan airmata kecewa di dalam pelupuk mataku yang terasa makin berat. Orang-orang di belakangku bergegas turun, sementara mataku masih mencari dan membuat kakiku lamban beranjak. Lalu tiba-tiba sosok jangkung dan wajahmu yang bingung tampak di antara orang-orang antri menaiki kereta. Kain tenun Lombok di lehermu menjadi stoping power bagi mataku. Matamu dan mataku cepat bertemu. Lega. Kedua lenganku berusaha menggapaimu sambil kuteriakkan namamu, kau teriakkan pula namaku. Aku segera meloncat memelukmu.

Bagai ombak lembut mengalun dan mengguyur dada, perasaanku lega luar biasa bisa bertemu kamu kembali malam ini. Kau rengkuh aku, kutarik manteaumu dan kubenamkan wajahku ke dadamu dalam-dalam. Betapa aku takut kehilanganmu, walau malam ini saja. Rasanya ingin menangis dan berteriak pada Tuhan, berapa lagi perjuangan untuk mendapatkan cintaku ini? Begitu melelahkan, Mon Dieu… Apakah akan berakhir bahagia?
Je ne sais pas..

Paris, 2003


Intermezzo 1

"Siapa tu?" tanyamu ingin tahu
sembari dekatkan diri berikut kuping caplangmu ke diriku.

Suara Boedi S. otong tertawa-tawa di seberang sana
lewati kabel, langsung dari rumahnya.
"Aaaahahahaa.... selamat bercinta, kawan..." katanya terbahak-bahak..., meski aku sela beberapa kali dengan kata-kata dan kalimat sangkalan.
"Sudahlah..., tak ada urusan lain selain itu yang paling tepat dilakukan di Paris....," lanjutnya lagi.
"Maaf, ya... aku belum bisa mampir.... Bulan ini ada undangan acara seni di Marseille. Tapi mampirlah kamu ke sini...," ajaknya pasti.
Ah, ya.. aku juga kangen dengan istri bulemu yang 'njawani' itu.

Kututup gagang telepon di tempatnya.
Wajahmu masih menempel di telingaku.



Prisse d'Avennes, 2002


Intermezzo 2

"Halloo...?! Sapa ini ya???"
suara mas FX Harsono terdengar kagok dan terburu-buru menjawab sapaku
"Apa khabar, mas? .... Ini aku..., " ujarku
"Eh, kamu tho.. baik... baik-baik di sini.. Apa khabar Paris?" tanyanya balik.
Maklum, beliau inilah yang memberiku info vi a e-mail tentang teman-teman yang bisa dikunjungi di Paris.
"Sekarang ini aku lagi di jalanan, naik trem... mau ke Amsterdam. Karya grafisku dipamerkan di sana... " jelasnya
"Aku boleh ya main ke sana?" tanyaku iseng
"Silakan..., kapan kamu kesini? Naik TGV aja..." terangnya
"Terima kasih, mas. Mas juga kalo mo ke sini, ke tempatku aja, biar ngirit.. " ujarku balik menawarkan
"Wah, pinginnya sih begitu. Tapi aku sudah mau balik ke tanah air", tuturnya
"Yaaah...," kataku kecewa
Sementara aku sudah ngiler-ngiler ingin nengok ateliernya di Utrecht. Tiarma Dame Ruth Sirait dan EddiE Hara baru dari sana.
Kurogoh kantungku.
Hanya picisan yang ada.
Tak ada lembaran-lembaran euro yang penuh warna.



Prisse d'Avennes, 2002


Feminist is

…Siti Suryaninglistyowati binti Siti Aisah & Suryokoco;
No Miss or Mrs.;
No Virgin or Married;
No Mrs. John, but Stella;
Or Mrs. John & Mr. Stella
Male & Female are Equal
Feminist is….
…dedicated to Eva or Siti Hawa; Jean d’Arc; Tjut Nya’ Dien; Emma Thompson; Marie Currie; Simone de Beauvoir; Kartini & Theressa
Salut!

Untuk Kesetaraan Manusia
Selamat Hari Ibu

[meski belum jua kupahami nasib perempuan di seluruh jagad raya ini dan maksud keberadaannya di dunia
karena rasa adil masih jua berupa utopia
karena kita mulai bertengkar kecil
atas nama perasaan equal-ku
yang selalu hadir dalam diri]



Alma-Marceau, Paris, 22 Desember 2002



La Guerre? Non!!!

(e-Mailku penuh info dan ajakan demo serentak sedunia tentang anti perang)
Betulkah perang terjadi atas nama cinta?
Betulkah damai bisa tercipta?
Atas darah yang berlimpah ruah,
Bangkai manusia di setiap laga,
Anak-anak kecil tiada dosa,
Bayi-bayi tanpa asa?
Wahai jiwa-jiwa tak berjiwa!
Dalam tubuh-tubuh perkasa penuh daya dan gaya
Dalam rengkuhan sang dajjal
Penuh bual
Akan ambisi-ambisi yang terjejal
Dalam rongga nafsu dan angkara murka
Oh, para durjana berselaput wajah dewa
Keluarlah dari istana musyrikmu
Kalian sedang menyembah Tuhan lain selain Dia
Masuklah ke dalam lubuk hatimu terdalam
Temuilah rohmu dalam sinar cahaya Illahi
Bahwa damai adalah tanpa kekerasan

(Aku ikut berduyun-duyun bersama lautan massa, bersorak-sorak, bernyanyi-nyanyi, menari-nari…di sepanjang jalan utama antara Denfert-Rochereau, Luxembourg hingga ke Cité dan Les-Halles)





Paris, 2002
Bonne Année!

Hmm…
Setelah makan malam penuh nikmat,
--di atas kursi baru
di tepi jendela besar apartemen kuno
warisan almarhum kakekmu ini
dan rangkaian bunga kuning dari ibumu-- …
[Tak percuma kita antri membeli cake coklat manis, meski bukan di toko Flo
Tak percuma kita berhasil peroleh paté angsa di minimart Champion
dan tak percuma aku memasaknya dengan bumbu improvisasi (kubayangkan bistik lidah sapi a la ibuku)
Tak percuma kita bolak-balik pilih vin merah terbaik dan termurah dari Bourdeaux
Tak percuma kita berbelanja hari ini
sambil menggotong kursi-kursi baru hadiah ibumu
dari toko di pusat kota hingga ke apartemen]
Penghujung akhir tahun 2002 tinggal 3 jam lagi
Kita pun bergegas
Sepatu boots coklat muda suede darimu
sibuk membungkus kakiku
Tak lupa pullover tebal, penutup kepala
dan sarung tangan
kusambar segera bersama manteau panjang ibu tirimu
Bersama metro kita berhenti di Palais-Royal-Musee-du-Louvre,
berjalan kaki lewati Carrousel,
gerbang penuh sejarah,
lalu masuk ke Jardin-de-Tuileries,
belok kanan ke jalan Rivolli,
searus bersama orang-orang kaya dalam baju hangat penuh bulu dan wajah molek tertata berkelas,
kita mampir sejenak di sebuah café untuk hangatkan diri dalam dua cangkir kecil cappuccino
sekaligus pipis gratis.
Kurang satu setengah jam lagi waktu 2002 akan habis
Au revoir madame et monsieur…,”
salam si bartender penuh senyum hangat.
Kembali kita berjalan menyemut bersama
para pejalan kaki makin ramai menyusuri jalanan menuju satu arah yang sama.
Plaza-de-La-Concorde bagai stadion sepakbola,
penuh manusia.
Tamu-tamu di Hôtel-de-Ritz mulai keluar
dalam jubah mewah.
Kakiku mulai lelah.
Suara-suara makin riuh dalam berbagai bahasa,
Wajah-wajah seluruh dunia ada di sini.
Langkah kita telah menapaki jalan raya super lebar Champs-Elysées,
Arc-de-Triomphe tampak berkilau megah di ujung sana, dan di kejauhan sebelah kiri kulihat La-Tour-Eiffel seperti rangka kristal penuh warna dan keemasan.
Tak ada pagelaran dangdut di sini
Orang hanya sekedar berjalan dan bersukaria sendiri
Satu menit menjelang 2003, massa mulai menghitung
Lalu….
Bonne Année!!!…” teriak beberapa orang bergembira
setiap pasangan saling berciuman,
setiap kelompok saling berpelukan,
gelas-gelas wiski mulai dikeluarkan
dari kantung jubah manteau beberapa orang,
botol-botol champagne, whisky dan anggur mulai dibuka dihirup, saling toast dan berharap indah di tahun baru.
Kita berhenti di bundaran FD Roosevelt,
beberapa gadis berteriak penuh ceria
sambil membuka baju hangat mereka
serta memperlihatkan tubuh mulusnya
dalam baju tipis dan minim,
kembang api bernyala-nyala di langit-langit kota,
seiring bara semangat orang-orang
di malam yang sangat dingin ini,
sekelompok perempuan berbusana bulu binatang bersukaria,
seorang pemuda pipis di sebuah bangku taman,
gelas-gelas anggur pecah berdentingan,
pengemis jalanan meminta-minta,
aku terpaku lelah dan menggigil melihat keramaian ini,
“Selamat Tahun Baru, Sayangku,” katamu.
Ciumanmu menghangatkanku.
Inilah atraksi terbaik malam ini bagiku.
Tanganmu segera meraihku mengajak pulang,
aku pun setuju
dan kita pun terseret lagi dalam arus massa
berbondong-bondong menyemut
di gorong-gorong stasiun metro,
penuh teriakan ‘s’il vous plait’ dan ‘pardonez
Sepasang sejoli bagai yin dan yang berpandang mesra
Pria hitam legam berbibir super tebal tersipu
Gadisnya bergelayut manja melihatnya penuh puja
Bagai sesosok putri salju cantik putih berseri
Bersama pangeran impiannya yang membangunkannya
Bibir merah indah mata biru cerah cinta merekah
Oh, haru menjalari warna kulitku
Putih-hitam-kuning-merah-sawo matang, apa pun
Tak beda
Kulihat sosok jangkungmu menempel di sisiku
darah Perancis-Yahudi menjadikanmu berkulit pucat
menyatu mengalirkan cinta dalam kulit sawo matangku dan mata sipitku
Tahun baru 2003 menyambutku dalam antrian panjang dan berdesakan ke sebuah metro,
berebutan dan tak ada kursi duduk untukku.
Yang ada hanya segerombolan pemuda bergaya punk penuh warna dan aneka bentuk
Mereka berteriak-teriak “Bonne Année!!! Bonne Année!!! Bonne Année!!!…” berkali-kali
seperti kumpulan teroris dan demonstran radikal
Rambut kipasnya yang kaku berwarna merah muda
seolah menusuk-nusuk daun telingaku,
duri-duri logam di permukaan bajunya
bagai menyentuh kulit lenganku.
Bibir birunya menyerupai pangeran Dracula
tengah menanti mangsa di sepanjang lorong gerbong.
Kereta bergerak membawa kita
semakin masuki tahun 2003
dari detik ke detik,
menit ke menit,
jam ke jam,
dari satu titik ke titik lain,
satu persinggahan ke persinggahan lain,
dari satu stasiun ke stasiun lain
satu cinta ke cinta lain
Waktu telah semakin banyak kita lalui,
namun belum juga berhenti.
Bonne Année!


Clemenceau, 2003
Baur

Seperti biasa…
Tanganku bergelayut manja dalam genggaman eratmu
Serasa tak ingin lepaskan aku
[Aku bahagia, Kasih]
hatiku riang dan ringan
seperti kutemukan seorang kakak laki-lakiku
yang selama ini tak pernah kupunya
dan siap lindungi aku
dari segala ketidaknyamananku
jalanan sepanjang Alesia tak terasa
salju beku teronggok di bawah pepohonan
ranting kerontang menyapaku
Bonjour, Madame…”
aku melewatinya, jajaran demi jajaran
Au revoir…” kataku
Kaki kita melangkah masuk
Ke sebuah chapelle mungil
Choir berkumandang dari tubuh-tubuh hitam legam
Di depan para pengunjung gereja berkulit pucat
Kutepukkan tanganku dan membalas salam mereka
Halleluyahh!!…
Alesia, Paris, 2003



Seorang Pria Menjinjing Piano


Seorang pria menjinjing piano di persimpangan
lampu merah antara Luxembourg dan Pantheon
[hawa dingin menusuk tulang]
penuh riang, digelarnya piano itu
dan mulai dimainkannya satu lagu
[kupasang dobel sarung tanganku, kakiku mulai menari]
sang pianis tetap bermain
orang-orang lalu-lalang mulai berhenti
terpaku di antara rintik hujan
lelaki itu tak peduli
jari jemarinya tetap menekan lincah tuts-tuts piano
Ia berkata bahwa ia akan main di sebuah kafe di kawasan St.-Michel, rabu malam di minggu ini
Jangan lupa, katanya.
Ia pun sibuk mengeluarkan CD-nya.
Silakan beli, katanya.
[kurogoh kantungku, teraih 1 sen euro
kucemplungkan ke dalam topinya yang tengadah.
Hhhhh…., kuingin lebih
Ingin kubeli CD itu dan ingin kuabadikan momen ini]
Messiurs et medames, merci pour d’attention! Au revoir…!,” katanya di antara applaus penonton.
Ditutup dan dilipatnya piano itu, lalu dijinjingnya kembali.
Jardin-de-Luxembourg, 2003



Hingga ke Puncak

Di Trocadéro aku berjalan
Angin mendesing ribut di telingaku
Bagai menuruni sebuah lembah kota
Kulihat Tour-Eiffel terpancang tegak
Mengangkang indah di pinggir Sungai Seine
Tongkang-tongkang dan bateau khas Prancis lalu-lalang
Kunikmati cahaya kabut di puncak menara
Begitu menjulang tinggi
Tapi aku tak ingin ke sana
Aku masih ingin bermain-main di antara kakimu
Di bawah sini masih luas lahan indah
Yang belum kutapaki semua
Biar nantilah
Pada saatnya, kusampai di ujung teratas
Di sana
Puncak kerinduanku
Akan bahagia
[segera kuraih…]
Trocadero, Paris, 2003



Tiap Pagi

Aroma kopi menyambut setiap pagiku
Nafasku menggelegak
Kuhirup hadirmu
Kuteguk dan ciumi bahagia
Bersama roti dan yaout yang kau sodorkan
Merci, mon cheri..,” kataku
Selimut cintaku kau pasangkan kembali ke tubuhku
“Kucing kecilku…,” katamu
Tubuhku menggeliat manja
dan terbenam kembali dalam timbunan bulu angsa kasur dan bantalku
semakin mendengkurkan desahku
akan rasa nyaman dan tenteram bersamamu
“Selamat bekerja, ‘yang…,” ujarku lirih
di antara bayang-bayang mimpi masa mendatang
cita-cita dan cinta kita berdua
indahnya
“Jemput aku di kampus, ya..” rajukmu
Pasti, kujemput cintaku
Prisse-d’Avennes, Paris-du-Sud, 2003



Qu ‘est-ce qu ‘il y a ?

Puluhan bocah mungil dan lucu menaiki bus kotaku
Wajah-wajah indah tanpa dosa
Mata bundar berbulu lentik di tepiannya
Meme le Lac
Biru hijau bening indah
Ingin segera kuselami
Ingin segera kuluncurkan
Dari rahimku sendiri
Yang kian haus dan tandus
Ingin kutanam benih indah itu
Bagai gurun tak berdaun
Kuingin segera tumbuh subur pohon-pohon zaitun
dan segera kupetik butir-butir kurmaku
Agar hijau dan rimbun duniaku
Ayom terlindung dalam lambaian daun-daun palem raja
Ingin segera kuciumi pipi-pipi merona
Kulit halus putih bersih pualam
Dan geraian rambut ikal para makhluk mungil
Qu’est-ce qu’il y a…?” celoteh tak habis dari bibir-bibir ranum ceria dan jari-jari lentik kecil menjulur-julur, sibuk menunjuk-nunjuk apa saja yang ingin diketahui.
“Apa itu…? Apa itu…? Apaan sih ?….”
Kurindu membelai-belai kalian, bocah-bocahku…
Denfert-Rochereau, 2003



Bola Mataku Terpaku di Dinding Kampusmu

Mataku terpaku
Tak lewat sedetik di antara lalu lalang
Mahasiswa-mahasiswi dan rekan-rekanmu para dosen
Begitu sibuk dan ceria, penuh semangat
Berceloteh ke sana kemari, bercanda…..enerjik
Kakiku bergeser, melangkah satu kaki
Mencari-cari hingga ekor mataku serasa menari-nari
Berloncatan ke pojok pupil dan sudut mataku
Aku suka suasana ini
Bersamamu
Hari makin indah di kampusmu
Universite de Paris 9, Dauphine
Meski aku harus beberapa kali berjalan
Menyusuri lorong-lorong metro
Dari kereta ke kereta yang lain
Berjalan kaki mengayun dingin
Selepas stasiun metro
Bbbrrr…angin salju masih berhembus
Segera kumasuki lantai kelasmu
Wajah prestigemu tampak di bangunan itu
Bola mataku berhenti berputar
Telah kutangkap sosokmu yang ayom
Ingin segera kumenghangatkan diri di dekapanmu.


Inalco, 2003



Hai! Salut!

Patung Moliére tersenyum padaku.
Aku pun tersenyum dan mengangguk padanya.
Karya-karyanya membuatku selalu tergelak.
“Pesta Pencuri”, “Tabib Gadungan” dan lainnya.
Kakiku terus menapak menjelajah jalanan kota Paris.
Kota ini menyimpan berjuta sejarah dunia.
Ah, itu Albert Camus…
Kubaca karya terakhirnya –6 bulan sebelum ia meninggal--, “La Chute”.
Victor Hugo…, karyamu seringkali dipentaskan di Indonesia
Tapi…, Jean Cocteau?
Kepalaku tergeleng. Sais pas
Sementara di sini begitu tenar
Aku berhenti lama di sepanjang jalan besar Rivolli,
menikmati patung sosok-sosok bersejarah di sepanjang dinding tinggi sekitar Museum Lôuvre.
Kuayunkan tanganku ke masing-masing sosok itu.
Kujabat erat tangan-tangan mereka
Terasa hangat mengaliri tubuhku
Kulihat kerling dan senyum Montesqieu untukku


Lôuvre, 2003



Obsesi

Akordeon di tangan musisi tua
Menyaring suara merdu musik keltik
dalam metro RER nomer 6
yang tengah berlari tenang di atas sungai Seine
dari stasiun Bir-Hakeim menuju Passy
Sosok indah menara Eiffel seperti melayang
dalam bingkai jendela, lewati puluhan manusia
penuh sesak dalam gerbong kereta
Mataku terpaku menyapu sosok indah itu
Tak ingin lepas
[Aku ingin bebas bersamamu di sisimu]
Kuangkat telepon yang berdering hangat sore ini
Suara EddiE Hara di seberang sana penuh ceria
Lama bercerita tentang 5 tahunnya
Bersama diajeng dan putranda tercinta
Penuh suka duka
Hingga akhirnya mulai bercahaya di negeri orang
Meski Swiss bukanlah Indonesia
Tak ada pohon pisang berbuah setiap saat di sini
[andai aku bebas lepas di negeri ini
dalam usaha bersama satu cinta]


Maison-de-Radio-France, 2003






Je vois la vie en rose
Je pense à toi une fois par jour et cela dure 24 heures
Je suis dans les nuages quand je pense à toi
Je t’aime à la folie



Tanganmu menggenggam jari jemariku hingga terasa sakit, seperti biasanya.
Hari ini kujemput dirimu di sebuah institusi pengkajian budaya Timur di kawasan Kennedy, untuk makan siang bersama.
Tanganmu masih menarikku sambil sesekali kau ciumi.
Sinar matahari di Januari menembus dingin hingga ke sumsum tulangku.
Aku berlari-lari kecil mengikutimu menyeberangi avenue du-President-Wilson, melewati kawasan KBRI dan berhenti di sebuah depot makan a la Vietnam di sebuah jalan kecil menanjak.
Matamu mesra menatapku sambil menyantap appetizer salad tauge-udang yang sungguh sangat segar.
Kita melakukan percakapan ilmiah di antara sumpit dan nasi goreng buncis.
Tangan kita asyik mencari potongan-potongan daging poulet yang ditumis bawang Bombay dan dilumuri wijen.
Penuh rasa kasih,
dengan merica dan kecap asin yang kutaburkan sesekali di atasnya.
Siang ini aku telah kenyang makan cinta denganmu.


Kennedy, 2003



Marahmu

Langit terlalu cepat padam
Kututup jendela dapur
Segera kuakhiri masakan sambal buatanku
Agar kau segera dapat makan malam
Tak perlu tunggu aku
Kar’na aku malam ini makan di luar
Bersama teman
Tinggalkan kunci di bawah keset pintu, katamu
D’accord, monsieur
Jawabku jenaka
Segera kuberlari turuni anak tangga di 5 lantai
Pintu tlah kututup dan kunci rapat
Lelampu sepanjang jalan makin berbinar
Aku segera menuju St-Michel
Di sana telah menunggu
Pembawa makan malamku
Di restauran India di Gare-du-Nord
Murtabak menari-nari di lidahku
Serta penganan a la Keling lainnya
hingga aku meraba kantung manteauku,
Mon Dieu
Kunci rumah masih kubawa!
Langkahku berderai menuju pulang
Di stasiun Porte-d”Orléans kau berdiri menunggu
Seperti patung ciptaan dr. Frankestein
Oh, la la
Bibirmu mengatup kuat
Tak mau dicium pun dipeluk
Tanganku segera kau genggam erat
Sementara aku tertawa-tawa
Dan seribu ucap maaf
Kau tetap terdiam, setengah menyeretku pulang
Aku habis berbelanja
Katamu memberi berita
Dan aku pun terpana
Kantung-kantung penuh belanjaan saling terikat
Berat teronggok di tiap lantai
Dan aku harus memungutnya
Berangkai
Hingga ke dalam rumah
Oh, inikah hukuman darimu?
Hihihi…
Betapa konyolnya
Dalam tidur pun kau masih membalasku
Aduuh
Prisse-d’Avennes, 2003



Musik mengalun
Suara akordeon meliuk-liuk seperti tarian guignol
Aku terkantuk mendengarnya
Dongeng ini masih belum berakhir
Dan aku masih ingin menikmatinya
Lelaki tua tersenyum lebar
Menebar bahagia ke seluruh penumpang metro jurusan Charles-de-Gaulle-Etoile

Kereta berhenti sejenak
Bingkai jendela di sampingku menampilkan suasana di stasiun Bir-Hakeim
Biasanya aku turun di sini, bersamamu
Menemanimu kerja rutin di sebuah stasiun radio
Kereta berjalan lagi
Jarum jam menunjukkan kurang seperempat jam lagi dari waktu janji pertemuan kita
Kau ingin kujemput di kampus tempatmu mengajar
Pemberhentian terakhir, aku segera melesat keluar
Menuju metro jurusan Porte-Dauphine
Tubuhku berayun bersama puluhan tubuh lainnya
Penuh jadwal dan rencana hidup
Aku naik di kereta yang selalu penuh mahasiswa
Kulihat wajah-wajah yang mulai tak terasa asing bagiku
Kulihat beberapa kain lurik, tas Yogya dan dari Tana Toraja menyertai beberapa manusia bulé ini
Ah, kampusmu makin sesak oleh para mahasiswamu yang tengah studi tentang Indonesia
Meski sayang, perpustakaanmu tak mengikuti perkembangan di Indonesia
Buku-buku yang tersedia tak lagi aktual
Sementara Indonesia sedang ‘indah-indah’nya bergerak cepat dalam karya seninya, apa saja…
Buku-buku sastra yang ada masih sebatas Rendra
Sedang Indonesia sudah melewati masa-masa Ayu Utami
Karya Dewi Lestari sudah lima tahun ini dibicarakan, serta masih banyak lagi penyair indah macam Laksmi Pamunjak, lalu era Fira Basuki dan Jenar Mahesa Ayu
Meski Goenawan Mohamad masih teratas buatku, Sitok Srengenge makin produktif
Seni rupa di perpustakaanmu masih bicara Affandi, padahal telah lahir selama dua decade ini
para seniman kontemporer macam Tisna Sanjaya dan EddiE Hara serta para Sirait yang selalu eksis, juga Astari Rasjid.
Lihat saja Galeri Jais Darga di Seine
Dunia teater, apalagi
Era Boedi S. Otong dan Afrizal Malna adalah aikon
Sebut saja Teater Payung Hitam, Teater Garasi yang sangat kontemporer, juga Teater Koma yang tak pernah habis tertelan masa.
Lihat juga kelompok RuangRupa yang sangat aktif dengan program video-artnya yang mendunia
Atau juga tengoklah mas Butet dan adiknya Jadug yang luar biasa nyinyir dan kritikal pada berbagai kondisi sosial di negeri sendiri
Belum lagi kelompok-kelompok amatir lainnya
Sungguh sangat mengikuti perkembangan dunia
Rasanya ingin kukirimkan seribu buku baru di perpustakaan ini, demi jurusan yang tengah kau pimpin
Jarum jamku menunjuk angka yang tepat.
Badanku mulai gemetar kedinginan
Perpustakaan ini cukup lembab
Bunyi air toilet terguyur terdengar samar di balik dinding
Kampusmu memang perlu perbaikan khusus
Dengan catatan, hanya di lantai kampusmu
Karena kulihat lantai-lantai yang lain sudah sangat apik, resik dan berkilat porselen.
Sehingga membuatku selalu berlari menuju lantai-lantai yang apik itu
Hanya untuk buang air kecil
Kulihat sosok jangkungmu melewati pintu masuk perpustakaan
Sosok yang selalu kurindu
Beberapa mahasiswamu melirik
Aku pun segera keluar
Kita segera beranjak menuju stasiun metro
Kau menawariku untuk makan siang di pecinan
Ada restauran masakan Cina di Belleville bawah
Sekaligus mengantarku belanja makanan Asia, katamu
Metro penuh sesak
Tanganmu memeluk tubuhku
Kerinduan yang tak pernah habis
Kucium wajahmu
Meski perutku berbunyi keroncongan
Perutmu juga
Ah, perjalanan makan siang ini cukup melelahkan.
Karena dua kali kita masih di gorong-gorong metro
Kita turun di Hôtel-de-Ville dan naik lagi di metro jurusan Porte-des-Lilas, turun di stasiun Belleville
Masih jalan kaki lagi
Oh, lihat.. kakiku selalu bengkak setiap kali usai keluar
Kehidupan di sini memang hanya untuk orang sehat, kuat dan liat!
Kakimu mulai berayun lebih cepat
Aku pun mulai berlari membuntutimu
Perut kita berdua sudah makin berteriak
Ah, syukurlah..kakiku telah sampai
Dan kau memesankan nasi bebek panggang untukku
Sementara kau lebih suka mie kuah udang
Ah, nikmatnya…
Kucium aroma Glodok dan Roxy di sini
Dengan perut kenyang dan puas
Kau mengantarku mampir belanja
Kubeli petai kesukaanmu
Dan tahu putih kesukaanku
Karena kulihat tahu sumedang di sini seharga 10 Euro
Atau seratusan ribu rupiah lebih!
Ah, tidak..
Kubeli kecap manis, asin dan saus wijen saja
Mataku berbinar melihat barang langka yang sangat akrab kukenal ini di sini
Meski sekantung ikan asin melambaikan sirip keringnya
Aku melengos
Lupakanlah…
aku masih menyimpan sekantung dari Jakarta
Bersama mie dan petai dari pasar swalayan di Bintaro
Kuraup satu ons cabai gendut kecil-kecil kabenero
(ternyata pedasnya bukan main…!)
untuk kuiris tipis-tipis bersama bawang merah dan tomat
agar menjadi sambal nikmat
kaki kita berdua segera meloncat
menuju lorong metro
berloncat-loncat lagi ke beberapa metro
hingga menuju selatan
Di rumah, kau pun segera ke dapur
Keju, susu, yaout dan gandum kau simpan dalam lemari
Sosis dan kacang hijau pipih kau masak dalam panci
Mau makanan Perancis buatanku? Tanyamu
Oh, tentu..! jawabku berbinar-binar
Lalu
Kau tuang anggur Bourdeaux yang baru kau beli
serta croissant dan baguette dari Alésia
Untuk kita berdua
Bercecap bersama sebelum memasak
Merpati sejoli bertengger di jendela
Memandang dua manusia
Saling bergayutan
Tanganku segera terdiam
Butiran tomat berhamburan
Pintu kulkas tertutup perlahan
Tubuhku kau rengkuh kuat
Bibir lembutmu menyapa bibirku
Mengulum kuat dan liat
Setelah letih di sepanjang lorong-lorong metro



Paris du Sud, 2003
Mogok Métro

Kakiku berhentak
Ikuti musik asik kelompok
Dalam ruang mini Théatre-de-La-Ville
Di kaki Montmatre
Aku ingin suatu waktu urusi mereka
Hadir di Indonesia
Kakiku berhentak
Berduyun menuju stasiun métro
Masih dalam irama asik kelompok tadi
Musik indah, instrumen indah
Bulatan-bulatan labu kering di atas air
Di antara céllo dan cymbal
Sungguh menarik dan atraktif
Kakiku berhentak
Menuruni tujuh lantai stasiun
Tak ingin naiki lift penuh dan antri
Kakiku berhentak
Kunaiki lagi tujuh lantai tadi
Pegawai métro mogok! Naikkan gaji, teriaknya
Oh, la..la
Abbesses, 2003



Berjalan di antara Sejarah

Tak ‘kan pernah kulupa
Pembelajaran pelajaran sejarah darimu
Bibir yang tak pernah berhenti
Sejuta satu info kau beri
Adalah keindahan tak terperi untuk diri
Terima kasih, mon chérri
Tak hanya museum Picasso, Louvre dan Orsay
Kosakata senirupaku tak hanya imaji
Keduamataku tak lagi bertirai
Pandang mataku tak sekedar maya
Kulihat jelas di sini!
(Bahkan ku bisa faham kejenialan Picasso
Yang semula tak pernah kusuka!)
Tak hanya itu
Kutahu kini sejarah air minum di tiap taman
Kutahu kini sejarah garpu
Pun sejarah hadirnya croissant!
Dan sejarahmu juga

Paris, 2003



Salade de Java

Di restoran à la Indonesia antara taman Luxembourg, Odeon dan universitas Sorbonne
Kutemukan ‘urap’ kesukaanku
Potongan sayur mayur rebus bercampur parutan kelapa
Seharga 5 Є atau tujuh puluh ribu rupiah sepinggan!
André Aumars pemiliknya, alias A. Umar Said
sungguh sangat pandai berdagang
tak jauh dari darah nenek moyang dan leluhurnya terdahulu
terkenal dengan kepiawaiannya berdagang, dimana pun
eks pewarta di Indonesia kini warga Perancis
7 tahun di Peking, sebelum suaka di Perancis
eks korektor di harian Indonesia Raya
yang sangat aktif di bidang sosial politik
sempat lama menjadi ‘exile
meski 10 November tetap jadi memori
dalam hidup yang tak terlupakan
berjuang bersama kawan-kawan
demi Kemerdekaan Republik Indonesia
aktif dalam Konferensi Asia Afrika
pelopor di Persatuan Wartawan Asia-Afrika
sayur urap menari-nari di antara lidah dan tari Bali
Taman Luxembourg, 2003



Dé Jà Vu

Tertegun
Aku tak bergerak
Waktu seperti terpatri
Beku di sini
Seperti imaji
Lewati segala mimpi
Bahwa aku pernah ke sini
Sisi-sisi tak bersisi
Di beberapa kali
Entahlah…
Mungkin ini ilusi
Meski seperti pasti
Pojok jalan ini
Sudut itu
Sungai ini, langit di sana
Jembatan itu
Bangunan ini
Istana itu
Pulangkah aku kini?
Montmatre, 2003



Les Miserables

Jalanan di kota Paris sepi dan berasap
Victor Hugo menaikkan kerah jubahnya
Dibukanya sebuah pintu lalu
Kudengar lamat-lamat Beethoven menekan tuts-tuts piano
Wajahnya makin kusam berbingkai serabut rambut semburatnya
Simfoni ke-7 belum juga usai
Menyusuli jejak tangan sang Mozart
Dalam pelukan requiem
Chopin tertunduk pilu
Jalanan berbatu rata dan rapih penuh pavon alami
Berjejal di sepanjang tepian taman Tuileries
Rel-rel kereta api diam seribu kata dalam lorong Gare-du-Nord
Para pelacur berpakaian sari bersembunyi
Di balik beberapa toko penjual pare dan petai
Gaugauin sibuk mengangkati lembaran kanvas, cat dan kuasnya
Ia ingin menyusul sang sahabat
ke rumah kuning penuh sinar bunga mentari di selatan Prancis
meski Haiti juga tengah menanti
Marie Currie sibuk menginstal eksperimen
Anjing-anjing menggonggong bersahut-sahutan di ujung passage
Karena Pasteur, manusia tak lagi gila
Maria Antoinette menunduk anggun di antara bilah tajam guillotine
Louis IV dalam bayang sinar sang matahari abadi
Teriakan lantang terdengar di atas ringkik kuda Jean d’Arc
Paris berkali-kali bersimbah darah
Tak terhirau kasih Napoleon, sang narcist
Wajahnya berlindung dalam peraduan Josephine.
Sartre berbisik mesra, Simone de Beauvoir mendekap hangat
Sehangat api yang tak pernah padam di tiap café
Bau harum pain dan kopi noir menguar
Bersama bongkahan sedap keju tua berjamur
Brasserie di ujung jalan menebar asap daging
Meski jalanan ini berbekas Lenin
Tak ‘kan pernah habis wajah Tuhan di sini
Kedua suster tetap tersenyum damai dalam peti kacanya
Sr. Catherine Labouré penuh sinar mistis Illahi
Sorak-sorai para kaum revolusioner menggema
Aku berjalan gontai
Menjejak tapak Albert Camus di tepian Seine
Dalam baris-baris terakhir ketikan jemari dan buah pikirnya
La Chute” sungguh ma’rifat
Sungging senyum Matahari penuh ayu, juga rayu
di antara applaus berbinar gairah para lelaki

Kekasihku menggamit lenganku dan merengkuhku
Putaran sejarah di benakku terhenti
Tersentak aku dalam kesadaran kini
La-Tour-Eiffel di hadapanku
Aku telah terperangkap
di sini …
… selamanya
Parc-Montsouris, 2003
Yakinkah Kamu ?

Parc-du-Champs-de-Mars
Di kaki Menara Eiffel, aku bersujud
Di antara bunga-bunga mungil yang akan berkembang
Taman asri berseri menghampar
Luas sungguh KuasaMu
Hingga aku Kau perkenankan menginjak rerumput ini
Meski tak jua ingin menuju puncaknya yang tertinggi.
Bagiku,
Berada di antara empat kaki kokoh ini sudahlah tinggi
Tapi,
Inikah analogi itu ?
Hanya sampai di sini
Tiga luna ini hanya semu
Tak mencapai puncak, cukup di sini sajakah?
Kemana segala rasa bahagia itu ?
Kemana langkah ucap cintamu ?
Kenapa tak sampai? Kenapa tak?
Apakah begitu ?
Apakah kau yakin begitu ?
Cintamu hanya mencipta seluas noda di wajahku?

Seine, 2003



Kakiku Terseok, Terjatuh Mengikuti Langkahmu

Tanganmu menggenggam erat jari jemariku
Memainkannya hingga terasa sakit ujung jariku
Butir-butir salju masih berjatuhan, berhamburan
Endapan salju di jalanan telah berubah menjadi es
Malam hari kau ajak aku melihat film-film tua hitam putih di Trocadéro
Terengah-engah aku berlari-lari kecil, menghindari lempengan licin salju beku di trotoar
Serta tai anjing di sudut sana dan sudut sini
Kakimu begitu lebar dan panjang melangkah
[Aku ingin memiliki langkahmu…]
Tanganku tak lepas olehmu, tergenggam erat
Sementara nafasku menderu, memburu
Asap tubuh berhamburan dari hidung dan bibirku
Nafasku begitu dingin pias
Aku tak kuasa, terpeleset…
Sepatuku tak bergigi, menggelincir di antara lapisan es
Aku menggapai, kau melepas tanganku,
Meninggalkan aku…dan berlari jauh

Trocadero, 2003



Solitaire

Sunyi, sepi, sendiri
Bilah-bilah lantai kayu mahoni di apartemenku tak mampu menemaniku. Coklat berkilau kusuka.
Kubayangkan gelak tawamu meluncur
di antara hamparan putih salju di pegunungan sana.
Bersama orang-orang yang mencintaimu
Saat hadirku baru dua minggu di sini
Aku mulai mempertanyakan dirimu
Kugosok embun kabut malam di jendela tua ini
Bayang wajahmu begitu jauh
Selimut telah membeku
Sebeku angin yang menampar wajahku
Lalui daun jendela kamarku yang tiba-tiba terbuka
Dingin
Kehadiranku mulai tak berarti
Paris hanyalah sepenggal kota wisata. Aku hanya di ujung jalan kesia-siaan
[Ingin aku berlari menjemputmu, merengkuhmu dan mendekapmu. Tak boleh pergi, kasih. Lihat nafasku telah penuh dengan cinta, cinta yang kau ulurkan.. Teguhkan niatmu…Kenapa tanganmu tak sanggup memegangnya ?]


Mouton-Duvernet, 2002





Manusia lahir, berkehidupan di dunia fana, lalu mati
Lahir – Hidup – Mati

Kulihat Tuhan dalam tengadahku
Bangunan piramid di depanku adalah nyata.
Trilogi, tiga tahap proses hidup jasmani manusia di sana
Segitiga dengan sisinya
Manusia lahir dari puncak kekuasaan tertinggi semesta
Turun ke mayapada dengan segala sisi kehidupannya
Berproses di sana, jungkir balik dan remuk redam
antara bahagia dan bahaya,
antara anugerah dan musibah,
semua sama, pun sisi-sisi berbeda
Lalu berakhir datar,
beranjak sontak kembali menuju titik tertinggi
di awal mula.
Musée du-Louvre, bagian dari sejarah hidup manusia.
Cerita panjang manusia saat mempertahankan hidupnya,
tentang manusia dalam mengumbar rasa cinta,
tentang manusia mencari-cari cinta,
tentang manusia sakit atas nama cinta,
berjuang hidup karena cinta,
membuang usang kata cinta
dan seterusnya.
Cinta menjadi kata yang s’lalu harus direduksi,
baik oleh rasa mau pun pikiran manusia.
[Bukankah manusia selalu mereduksi setiap detik hirup nafasnya tentang arti cinta?]

Mais,…qui sera…sera…

Cinta akan selalu menjadi hidup setiap makhluk Tuhan.

Aku tepekur
Ingin segera kuleburkan tubuhku ke dalam Sungai Seine
Mungkin damai di situ,
Tanpa perlu menangisi rasa kasih terkasih
yang tak mampu jernih
Vincent van Gogh mengiris telinganya
Sungging senyum tertahan Monalisa, tampak pasrah
Leonardo da Vinci pun terpukau sendiri
pada pesona abadi di jagad fana ini
akan tabir Illahi

Aku terpekik lirih
Ya, Tuhan !

(Aku tertinggal bus no. 68, jurusan Chatillon – Montronge ke Porte d’Orléans !)

Carrousel, 2003

Nisbi

Execusez-Moi, Madame… Le billet, s’il vouz plait..
Aku tersentak kaget.
Pandanganku masih nanar dari tidurku dan langsung menengok ke arah suara.
Tangan pak polisi muda masih terasa menyentuh lenganku.
Aku tergagap, “Ah, pardonez…monsieur
Segera kurogoh kantung manteau-ku mencari-cari karcis langganan transportasi. Untunglah segera kutemukan.
Kuperlihatkan pada wajah simpatik di hadapanku.
Merci, Madame…,” katanya tersenyum dengan pupil matanya yang awas sambil berlalu.
Hhh…, nafasku lega.
Kulihat jalanan, pandanganku menembus kaca bus kota, kulihat dengan kantuk yang tersisa. Untunglah aku segera beli karcis langganan yang baru.
Biasanya aku masih menggunakan yang kadaluarsa dan menutupi tanggalnya dengan jari-jariku saat kutunjukkan pada pak sopir di depan.
[Masih kuingat ekspresi wajahmu yang marah ketika mengetahui hal itu. “Tidak benar itu…,” katamu]
Yaah….., memang tidak benar.
Seperti hubungan kita ini.
[Apakah kamu melakukan hal yang benar?]
Aku beranjak, berdiri menuju pintu keluar.

...pédaler dans la semoule
*
Alésia, 2003

*bersusah payah tanpa ada kemajuan



Je t’aime, Annie

Tak kulihat renta di sosok tubuhmu.
Meski rambutmu telah memutih.
Cahaya perak yang membias dari beberapa utas rambutmu membuatmu tetap menarik.
Garis-garis wajahmu lembut menguat karakter
seperti guratan kuas Renoir
Tubuhmu menyimpan riwayat perjuangan hidupmu.
Wajah arif yang tetap menyandang kekuatan dan semangat keseharian.
Berbinar saat buku tentang Serat Centini
--karya tafsir wong Perancis si ayu mungil mbak Elisabeth Inandiak yang rajin sholat
dihadiahkan oleh anak lanang terkasihmu
Betapa aku telah terpikat olehmu.
[Andai kupunya seorang ibu sepertimu]
Tatapan matamu yang mesra pada anak lanangmu satu-satunya.
Hatiku bergeletar.
Kurasakan tali kasih itu.
Sinar cinta di matamu.
Meski sosokmu menyimpan sejarah hidup yang liat.
Cinta sejati yang tinggal sebelah, dan rontok dimakan cerita petualangan baru.
Menggenggam kesetiaan dalam tugas seorang ibu, membesarkan anak-anakmu.
Seorang diri.
Aku iri melihat kakimu, yang begitu kokoh tetap berdiri dan menegakkan hidup.
Kaki yang tak pernah renta menginjak rem, gas dan kopling sepanjang Paris – Bordeaux pulang pergi.
Rasa cintamu yang penuh dedikasi.
Pamrihmu hanya satu, kebahagiaan anak-anakmu sebagaimana yang mereka inginkan.
Kusodorkan piring berisi soto ayam masakanku untukmu, dan kau menyantapnya hingga dua porsi.
Di tengah deru angin dingin berkabut di luar, aku merasa hangat bersama kalian berdua.
Ibu dan anak yang saling mencinta.
[Andai aku pun berhak menjadi anakmu …]
Prisse-d’Avennes, 2003


Evasion

Brasserie di ujung jalan St.-Michel sangat ramai.
Wajah-wajah penuh gelak di dalamnya.
Seekor anjing lambrador lewat dengan angkuh bersama tuannya.
Tali di lehernya hanyalah sebuah penuntun.
Beberapa anak muda melesat melewatiku dengan roda-roda gila di sepatunya.
Seribu kata ‘pardonez’ rajin terucap di bibir mereka.
Semangatku ingin ikut melesat bersama mereka.
Melaju cepat menyongsong hidup penuh bahagia.
Seperti yang kuharap saat hari pertama kuinjak tanah Prancis di bandara Charles-de-Gaulle.
Kini, hari-hariku telah lewat menjelang bulan ketiga.
Perasaan hampa.
Api hidupku seperti di atas batang lilin.
Kakiku menyeberangi jalan menuju Pont-du-Neuf.
Atap Notre-Dame terlihat menjulang.
Aku berlari menghambur ke pintu masuk.
Puluhan burung dara di halaman tersentak kaget dan beterbangan.
Maafkan aku…
Aku sedang mencari Tuhan sekarang ini.
Keajaiban yang Kau berikan, kini terasa mulai pudar.
Tuhan, aku tak tahu lagi harus bersikap apa
Hilang sudah bayang-bayang indah dan harapanku.
Api berkelip-kelip di atas altar hampir pudar dan nanar.
Tapi tangan dan kakiku tak kuasa menghampiri dan menyulutnya.
Aku ingin berlari keluar dari semua rasa sesak ini!!!
Rue-d’Arcole, 2003



Je Voudrais…

Dari Galeries-Lafayette aku berlari bersama metro menuju Abbesses.
Terengah-engah aku mendaki menapaki seribu anak tangga menuju kubah besar Montmatre di Paris ‘atas’.
Voilà, aku sampai juga di puncak bukitnya.
Kulihat Paris cantik terhampar di bawah sana…
Gemerlap dalam cahaya sore penuh keemasan.
Begitu indah….
Aku berharap kita berdua juga sampai ke ‘puncak’.
Aku berharap kamu tak pernah henti memperjuangkan cinta kita, sehidup semati.
Hatiku riang ketika bayang indah masa depan mahligai kita hadir di anganku.
Tak ada lagi yang kuragukan bersamamu, sayang.
Bon….,
airmata mulai menetes dari hatiku
Aku berkeluh….
Kulihat sosok jangkungmu kecil berdiri angkuh di latar La-Tour-Eiffel, jauh di bawah sana.

Avoir les yeux plus gros que le ventre
*
Montmatre, 2003

*seseorang yang mempunyai keinginan yang besar tanpa melihat kemampuan yang terbatas pada dirinya.