Les-Halles > Cité > Saint-Michel








Kakiku bergegas meninggalkan apartemen. Aku bagai meluncur di 7 lantainya secara manual. Jejakan kakiku menapak bagai Tap Dance. Jamku menunjukkan pukul 5 sore. Kamu memintaku bertemu di stasiun metro St.-Michel dua jam lagi untuk makan malam bersama.



Paris di bulan pertama masih berselimut kabut. Hujan salju hanya kadang-kadang. Serpihan-serpihannya mengganggu pandangan mataku. Kacamataku selalu berembun di sini. Kadang aku berpikir, ingin segera mengoperasi pupil mataku agar tidak minus lagi. Atau mungkin ada kacamata temuan baru anti berembun.

Sesaat kakiku tergelincir tatkala melewati lempengan salju beku. Ah, masih dua jam lagi. Aku ingin melihat-lihat buku di toko buku Gibert Jeunes. Sedang ada pesta diskon. Aku ingin bawa pulang ke Indonesia beberapa buku sastra yang di Indonesia tidak terlalu dikenal, namun di sini menjadi karya yang selalu diperdebatkan. Jean Cocteau adalah salah satunya. Pengarang-pengarang muram yang penuh dedikasi tinggi dalam menguak jendela dan pintu-pintu kenyataan hidup yang tak pernah ada batasnya. Selalu ada kedalaman dalam setiap kedalaman, tak henti. Pikiran manusia yang selalu sibuk mencerna dan rajin mencari atau mengkreasikan persoalan baru agar selalu ada yang menjadi makanan pencernaan dalam lambung pikirannya.

Selama ini aku hanya mengenal Moliére, Victor Hugo dan Albert Camus. Tapi sejak bertemu denganmu aku mulai berkenalan dengan lainnya yang sama eksisnya berikut karakter kuat masing-masing. Aku mulai berkenalan dengan Èmile Zola hingga sutradara kontroversial Passolini, yang terkenal dengan homoseksualitasnya dan secara tragis terbunuh oleh salah satu ‘pacar’nya. Bahkan aku mulai memahami dan mencintai Picasso karena langsung melihat berbagai karya seni rupanya di museumnya, bukan di buku doang.

Kakiku berhenti sejenak. Lampu sedang merah di zebra cross ini. Brasserie di belakangku menguarkan bau sedap gratin dauphinois, kentang panggang keju sederhana makanan khas rumahan. Asap berkepul dari hidung dan mulutku. Brr…, dingin. Perutku jadi keroncongan.

Ingin aku berbalik dan antri di depan kios penjual crépes kesukaanku. Tapi, ah…tidak..tidak. Aku harus disiplin dalam soal makanan ini, karena bobotku dalam sebulan di Paris sudah naik 2 kilo lagi. Aku tak ingin semakin susah berjalan di musim dingin ini dengan bungkusan pakaian tebal berlapis-lapis. Serasa seperti burung penguin. Syal yang kupakai terasa mengganggu gerak kepalaku. Begitu juga dengan manteau panjang milik ibu tirimu ini. Ugh.., berat bo’. Mungkin seperti ini rasanya menggunakan kostum badut Ancol tiap hari. Meski pun bermerk terkenal, aku tak pernah nyaman di dalamnya. Aku tak suka modelnya, sungguh mati. Aku terkurung dalam baju oma-oma. Mais…, ga’ ada pilihan.

Lampu sudah hijau kembali bagi pejalan kaki. Aku menyeberang dan segera bergegas menuju pangkalan bus di Porte-d’Orléans. Kutunjukkan kartu langganan angkutan publik dalam kotaku pada mas sopir.
Bonjour, Monsieur..”, sapaku rutin.
Bonjour, Madame.. et merci”, jawabnya sambil tersenyum simpatik.
Aku tersenyum lega dan segera berlalu ke dalam. Untung dia tidak memperhatikan kartu yang kutunjukkan sudah tidak berlaku. Kamu pernah marah dalam soal manipulasi ini. Padahal aku hanya meniru dan mengikuti saran salah seorang teman Indonesiaku yang sedang studi strata tiga di Université-de-La-Sorbonne. Menurutmu, sebaiknya tidak melakukan hal-hal manipulatif meski pun terlihat kecil dan sepele, karena itu tetap tidak bisa dibenarkan. Aku setuju sekali dengan pikiran ini, tapi aku memang kadang malas dan lupa tidak memperhatikan tanggal berlakunya karcis. Untung saja aku tidak pernah ketahuan polisi. (Inikah penyakit akut bangsaku? Ma'af..)
Aku segera mencari tempat duduk yang strategis untuk melihat-lihat kota. Bus mulai berjalan meninggalkan pool dan memasuki jalan raya Général-Lecrec menuju ke utara.

Seorang ibu muda dan putri balitanya duduk di belakangku. Kudengar celotehannya berkali-kali,”Qu’est qu’il y a, Mamman?…Oui, Mamman..” Aku membayangkan seandainya memiliki anak darimu, aih…pasti lucu. Peranakan Prancis-Indonesia Jawa, hidung petrukmu pasti akan mendominasi anak kita dan rambut kita yang sama-sama keriting akan jadi bingkai yang menarik baginya. Aku tersenyum-senyum sendiri sambil melempar pandang keluar.

Tiba-tiba wajah ibumu yang ayu sepintas melintas menembus kaca bus. Aku ingin seperti ibumu, yang begitu kasih pada anak-anaknya namun selalu terlihat kuat dan mandiri. Tidak seperti ayahmu yang kau ceritakan sering bepergian dan meninggalkan kalian saat masih remaja dan adik-adikmu masih kanak-kanak. Namun kamu tetap hormat dan bangga pada ayahmu yang kini tinggal bersama ibu tirimu. Maklum, beliau adalah tokoh yang cukup andil dalam dunia seni di Eropa.

Ah
, tiba-tiba aku ingin bertemu dengan ibumu lagi. Ingin kuhadirkan semangkuk soto ayam hasil masakan ‘instant’ku sekali lagi. Dua kali ibumu menyantapnya, setelah sebelumnya aku dengan panik dan emosional bergelut di dapur karena sadar tengah menyiapkan masakan bagi ‘calon ibu mertua'ku. Hampir saja terjadi ‘kecelakaan’, bawang merah yang kugoreng nyaris angus dalam pan yang bergeletar menahan tanganku yang gemetar akibat nervous.

Tahu tidak, aku jatuh cinta pada ibumu pada pandang pertama. Dan makin jatuh cinta saat mengetahui beliau mau membawakan pesawat televisi jauh-jauh dari rumahnya di Bordeaux mengendarai mobil sendiri dalam kondisi hujan salju. Aku makin jatuh cinta lagi saat kakiku bengkak di jalanan ketika kita bertiga jalan-jalan bersama, ibumu dengan senang hati mengantarku ke setiap toko mencari sepatu baru yang bisa memuat kaki bengkakku.

Kupandangi jendela bus. Halte Denfert-Rochereau sudah lewat. Kini Jardin-de-Luxembourg di sebelah kiri. Ada pameran foto di sepanjang pagar kebun besar ini. Sungguh luar biasa. Pemerintah di sini sangat paham seni. Bayangkan berapa duit harus dikeluarkan untuk bisa menyelenggarakan pameran selama 2-3 bulan yang tentunya dengan memperhitungkan berbagai faktor. Antara lain bahan foto yang didisplay, lampu-lampu penerangan agar pada malam hari masih bisa terlihat, dan tahan hujan-angin, tidak luntur warna atau pun dirusak orang, dan sebagainya.

Voila
, aku harus segera bersiap-siap turun. Aku ingin jalan-jalan dulu di St.-Germain. Aku beringsut menuju pintu dan menekan tombol bus berhenti. “Pardonez, Mademoiselle..,” kata seorang ibu tua bungkuk di depanku. “S’il vous plait, Madame..”, kataku menyilakan sambil membantunya turun. “Merci beaucoup…,” ujarnya sambil tersenyum senang dan kujawab sopan,”De rien…Au revoir..”

Kakiku berjalan kembali menyusuri trotoar. Aku masuk sebentar ke toko foto, kubeli satu rol film lagi sambil bertanya-tanya ini-itu. Ah, harusnya aku membawa kamera digital saja. Tinggal jepret dan simpan di disket. Pakai film hanya bikin capek mondar-mandir tempat cuci foto dan kantong cepat terkuras habis.

Aku melangkah lagi sambil memakai sarung tangan, segera kusembunyikan rapat-rapat ke dalam saku manteau-ku. Angin dingin mulai terasa makin menusuk. Jarum jam sedang berjalan menuju angka 6. Langit mulai redup. Aku makin bergegas menuju toko buku.

Toko buku selalu ramai, meski pun ada di mana-mana. Aku masuk dan beringsut menuju kawasan fotografi dan seni rupa. Ada buku foto yang ingin kubeli dan isinya berisi seluruh alamat institusi foto di Prancis. Mataku bergerak keliling dan menuju pojok yang kukenali sebagai tempat buku-buku dan majalah foto. Aku jongkok dan asyik melihat berbagai informasi yang dihadirkan.

Sepasang sejoli muda mendekat. Tampaknya bukan orang lokal. Mereka berbahasa Inggris. Setelah berbisik-bisik, sang cewek memisahkan diri menuju mbak penjaga dan menanyakan sesuatu. Si cowok beringsut mendekatiku dan turut jongkok mencari-cari buku di rak yang sama. Tiba-tiba tangannya meraih 2-3 buku dan menyusupkannya ke dalam kantong jaketnya sambil matanya mengawasi kiri dan kanan, kecuali aku. Hatiku berdetak keras. Wah, apa nih yang harus kulakukan? Aku teringat cerita temanku yang kecopetan, pada saat ia berteriak minta tolong, si pencopet malah meneriakinya sebagai maling dan akhirnya temanku yang ditanyai polisi. Aku pun segera beringsut cepat berdiri dan menuju kasir, membayar buku dan segera keluar. Sejenak kupandangi sang penjaga yang tersenyum padaku. Ingin kukatakan peristiwa tadi, tapi lidahku kelu. Kakiku terus melangkah cepat keluar.

Jarum jam menunjukkan kurang setengah jam lagi. Akhirnya aku sampai juga di lorong menuju stasiun kereta api bawah tanah di St.-Michel. Tapi …ah, ditutup. Poster yang memberitahukan bahwa baru hari ini stasiun ini mengalami perombakan bangunan hingga seminggu lagi. Ah, celaka…. Aku pun berlari menuju stasiun terdekat. Kuseberangi Sungai Seine menuju stasiun metro Cité. Jalanan sepi, gelap dan rintik hujan mulai membasahi wajah piasku. Angin dingin menampar sepanjang 500 meter ke sana. Gereja Notre-Dame saksi bisu pencarianku. Sampai di Cité kutunggu kamu, kucari wajahmu di antara orang-orang. Tak ada. Aku pun segera ikut naik menuju Châtelet-Les Halles. Jarum jam tepat di angka 7 dan wajahmu tak juga tampak di pintu keluar di stasiun ini. Aku semakin panik.

Kucoba menunggumu di sini hingga beberapa menit. Hatiku makin tak tenang, aku pun segera menaiki metro menuju St.-Michel. Ya, Tuhan… bodoh sekali aku ini, kan St.-Michel sedang ditutup, maka tak mungkin kamu menunggu di sana. Aku beringsut berdiri di depan pintu pertama agar segera terlihat olehmu atau pun sosokmu cepat terlihat olehku. Meski pasrah, aku jadi bertanya pada Tuhan. Apakah ini ‘tanda’ yang tengah Kau beritahukan padaku? Tentang hubungan kami? Please, Tuhan…jangan pisahkan kami…

Kereta berhenti di Cité dan aku sudah bersiap-siap dengan simpanan airmata kecewa di dalam pelupuk mataku yang terasa makin berat. Orang-orang di belakangku bergegas turun, sementara mataku masih mencari dan membuat kakiku lamban beranjak. Lalu tiba-tiba sosok jangkung dan wajahmu yang bingung tampak di antara orang-orang antri menaiki kereta. Kain tenun Lombok di lehermu menjadi stoping power bagi mataku. Matamu dan mataku cepat bertemu. Lega. Kedua lenganku berusaha menggapaimu sambil kuteriakkan namamu, kau teriakkan pula namaku. Aku segera meloncat memelukmu.

Bagai ombak lembut mengalun dan mengguyur dada, perasaanku lega luar biasa bisa bertemu kamu kembali malam ini. Kau rengkuh aku, kutarik manteaumu dan kubenamkan wajahku ke dadamu dalam-dalam. Betapa aku takut kehilanganmu, walau malam ini saja. Rasanya ingin menangis dan berteriak pada Tuhan, berapa lagi perjuangan untuk mendapatkan cintaku ini? Begitu melelahkan, Mon Dieu… Apakah akan berakhir bahagia?
Je ne sais pas..

Paris, 2003

No comments: