Baur

Seperti biasa…
Tanganku bergelayut manja dalam genggaman eratmu
Serasa tak ingin lepaskan aku
[Aku bahagia, Kasih]
hatiku riang dan ringan
seperti kutemukan seorang kakak laki-lakiku
yang selama ini tak pernah kupunya
dan siap lindungi aku
dari segala ketidaknyamananku
jalanan sepanjang Alesia tak terasa
salju beku teronggok di bawah pepohonan
ranting kerontang menyapaku
Bonjour, Madame…”
aku melewatinya, jajaran demi jajaran
Au revoir…” kataku
Kaki kita melangkah masuk
Ke sebuah chapelle mungil
Choir berkumandang dari tubuh-tubuh hitam legam
Di depan para pengunjung gereja berkulit pucat
Kutepukkan tanganku dan membalas salam mereka
Halleluyahh!!…
Alesia, Paris, 2003



Seorang Pria Menjinjing Piano


Seorang pria menjinjing piano di persimpangan
lampu merah antara Luxembourg dan Pantheon
[hawa dingin menusuk tulang]
penuh riang, digelarnya piano itu
dan mulai dimainkannya satu lagu
[kupasang dobel sarung tanganku, kakiku mulai menari]
sang pianis tetap bermain
orang-orang lalu-lalang mulai berhenti
terpaku di antara rintik hujan
lelaki itu tak peduli
jari jemarinya tetap menekan lincah tuts-tuts piano
Ia berkata bahwa ia akan main di sebuah kafe di kawasan St.-Michel, rabu malam di minggu ini
Jangan lupa, katanya.
Ia pun sibuk mengeluarkan CD-nya.
Silakan beli, katanya.
[kurogoh kantungku, teraih 1 sen euro
kucemplungkan ke dalam topinya yang tengadah.
Hhhhh…., kuingin lebih
Ingin kubeli CD itu dan ingin kuabadikan momen ini]
Messiurs et medames, merci pour d’attention! Au revoir…!,” katanya di antara applaus penonton.
Ditutup dan dilipatnya piano itu, lalu dijinjingnya kembali.
Jardin-de-Luxembourg, 2003



Hingga ke Puncak

Di Trocadéro aku berjalan
Angin mendesing ribut di telingaku
Bagai menuruni sebuah lembah kota
Kulihat Tour-Eiffel terpancang tegak
Mengangkang indah di pinggir Sungai Seine
Tongkang-tongkang dan bateau khas Prancis lalu-lalang
Kunikmati cahaya kabut di puncak menara
Begitu menjulang tinggi
Tapi aku tak ingin ke sana
Aku masih ingin bermain-main di antara kakimu
Di bawah sini masih luas lahan indah
Yang belum kutapaki semua
Biar nantilah
Pada saatnya, kusampai di ujung teratas
Di sana
Puncak kerinduanku
Akan bahagia
[segera kuraih…]
Trocadero, Paris, 2003



Tiap Pagi

Aroma kopi menyambut setiap pagiku
Nafasku menggelegak
Kuhirup hadirmu
Kuteguk dan ciumi bahagia
Bersama roti dan yaout yang kau sodorkan
Merci, mon cheri..,” kataku
Selimut cintaku kau pasangkan kembali ke tubuhku
“Kucing kecilku…,” katamu
Tubuhku menggeliat manja
dan terbenam kembali dalam timbunan bulu angsa kasur dan bantalku
semakin mendengkurkan desahku
akan rasa nyaman dan tenteram bersamamu
“Selamat bekerja, ‘yang…,” ujarku lirih
di antara bayang-bayang mimpi masa mendatang
cita-cita dan cinta kita berdua
indahnya
“Jemput aku di kampus, ya..” rajukmu
Pasti, kujemput cintaku
Prisse-d’Avennes, Paris-du-Sud, 2003



Qu ‘est-ce qu ‘il y a ?

Puluhan bocah mungil dan lucu menaiki bus kotaku
Wajah-wajah indah tanpa dosa
Mata bundar berbulu lentik di tepiannya
Meme le Lac
Biru hijau bening indah
Ingin segera kuselami
Ingin segera kuluncurkan
Dari rahimku sendiri
Yang kian haus dan tandus
Ingin kutanam benih indah itu
Bagai gurun tak berdaun
Kuingin segera tumbuh subur pohon-pohon zaitun
dan segera kupetik butir-butir kurmaku
Agar hijau dan rimbun duniaku
Ayom terlindung dalam lambaian daun-daun palem raja
Ingin segera kuciumi pipi-pipi merona
Kulit halus putih bersih pualam
Dan geraian rambut ikal para makhluk mungil
Qu’est-ce qu’il y a…?” celoteh tak habis dari bibir-bibir ranum ceria dan jari-jari lentik kecil menjulur-julur, sibuk menunjuk-nunjuk apa saja yang ingin diketahui.
“Apa itu…? Apa itu…? Apaan sih ?….”
Kurindu membelai-belai kalian, bocah-bocahku…
Denfert-Rochereau, 2003

No comments: