Bola Mataku Terpaku di Dinding Kampusmu

Mataku terpaku
Tak lewat sedetik di antara lalu lalang
Mahasiswa-mahasiswi dan rekan-rekanmu para dosen
Begitu sibuk dan ceria, penuh semangat
Berceloteh ke sana kemari, bercanda…..enerjik
Kakiku bergeser, melangkah satu kaki
Mencari-cari hingga ekor mataku serasa menari-nari
Berloncatan ke pojok pupil dan sudut mataku
Aku suka suasana ini
Bersamamu
Hari makin indah di kampusmu
Universite de Paris 9, Dauphine
Meski aku harus beberapa kali berjalan
Menyusuri lorong-lorong metro
Dari kereta ke kereta yang lain
Berjalan kaki mengayun dingin
Selepas stasiun metro
Bbbrrr…angin salju masih berhembus
Segera kumasuki lantai kelasmu
Wajah prestigemu tampak di bangunan itu
Bola mataku berhenti berputar
Telah kutangkap sosokmu yang ayom
Ingin segera kumenghangatkan diri di dekapanmu.


Inalco, 2003



Hai! Salut!

Patung Moliére tersenyum padaku.
Aku pun tersenyum dan mengangguk padanya.
Karya-karyanya membuatku selalu tergelak.
“Pesta Pencuri”, “Tabib Gadungan” dan lainnya.
Kakiku terus menapak menjelajah jalanan kota Paris.
Kota ini menyimpan berjuta sejarah dunia.
Ah, itu Albert Camus…
Kubaca karya terakhirnya –6 bulan sebelum ia meninggal--, “La Chute”.
Victor Hugo…, karyamu seringkali dipentaskan di Indonesia
Tapi…, Jean Cocteau?
Kepalaku tergeleng. Sais pas
Sementara di sini begitu tenar
Aku berhenti lama di sepanjang jalan besar Rivolli,
menikmati patung sosok-sosok bersejarah di sepanjang dinding tinggi sekitar Museum Lôuvre.
Kuayunkan tanganku ke masing-masing sosok itu.
Kujabat erat tangan-tangan mereka
Terasa hangat mengaliri tubuhku
Kulihat kerling dan senyum Montesqieu untukku


Lôuvre, 2003



Obsesi

Akordeon di tangan musisi tua
Menyaring suara merdu musik keltik
dalam metro RER nomer 6
yang tengah berlari tenang di atas sungai Seine
dari stasiun Bir-Hakeim menuju Passy
Sosok indah menara Eiffel seperti melayang
dalam bingkai jendela, lewati puluhan manusia
penuh sesak dalam gerbong kereta
Mataku terpaku menyapu sosok indah itu
Tak ingin lepas
[Aku ingin bebas bersamamu di sisimu]
Kuangkat telepon yang berdering hangat sore ini
Suara EddiE Hara di seberang sana penuh ceria
Lama bercerita tentang 5 tahunnya
Bersama diajeng dan putranda tercinta
Penuh suka duka
Hingga akhirnya mulai bercahaya di negeri orang
Meski Swiss bukanlah Indonesia
Tak ada pohon pisang berbuah setiap saat di sini
[andai aku bebas lepas di negeri ini
dalam usaha bersama satu cinta]


Maison-de-Radio-France, 2003






Je vois la vie en rose
Je pense à toi une fois par jour et cela dure 24 heures
Je suis dans les nuages quand je pense à toi
Je t’aime à la folie



Tanganmu menggenggam jari jemariku hingga terasa sakit, seperti biasanya.
Hari ini kujemput dirimu di sebuah institusi pengkajian budaya Timur di kawasan Kennedy, untuk makan siang bersama.
Tanganmu masih menarikku sambil sesekali kau ciumi.
Sinar matahari di Januari menembus dingin hingga ke sumsum tulangku.
Aku berlari-lari kecil mengikutimu menyeberangi avenue du-President-Wilson, melewati kawasan KBRI dan berhenti di sebuah depot makan a la Vietnam di sebuah jalan kecil menanjak.
Matamu mesra menatapku sambil menyantap appetizer salad tauge-udang yang sungguh sangat segar.
Kita melakukan percakapan ilmiah di antara sumpit dan nasi goreng buncis.
Tangan kita asyik mencari potongan-potongan daging poulet yang ditumis bawang Bombay dan dilumuri wijen.
Penuh rasa kasih,
dengan merica dan kecap asin yang kutaburkan sesekali di atasnya.
Siang ini aku telah kenyang makan cinta denganmu.


Kennedy, 2003



Marahmu

Langit terlalu cepat padam
Kututup jendela dapur
Segera kuakhiri masakan sambal buatanku
Agar kau segera dapat makan malam
Tak perlu tunggu aku
Kar’na aku malam ini makan di luar
Bersama teman
Tinggalkan kunci di bawah keset pintu, katamu
D’accord, monsieur
Jawabku jenaka
Segera kuberlari turuni anak tangga di 5 lantai
Pintu tlah kututup dan kunci rapat
Lelampu sepanjang jalan makin berbinar
Aku segera menuju St-Michel
Di sana telah menunggu
Pembawa makan malamku
Di restauran India di Gare-du-Nord
Murtabak menari-nari di lidahku
Serta penganan a la Keling lainnya
hingga aku meraba kantung manteauku,
Mon Dieu
Kunci rumah masih kubawa!
Langkahku berderai menuju pulang
Di stasiun Porte-d”Orléans kau berdiri menunggu
Seperti patung ciptaan dr. Frankestein
Oh, la la
Bibirmu mengatup kuat
Tak mau dicium pun dipeluk
Tanganku segera kau genggam erat
Sementara aku tertawa-tawa
Dan seribu ucap maaf
Kau tetap terdiam, setengah menyeretku pulang
Aku habis berbelanja
Katamu memberi berita
Dan aku pun terpana
Kantung-kantung penuh belanjaan saling terikat
Berat teronggok di tiap lantai
Dan aku harus memungutnya
Berangkai
Hingga ke dalam rumah
Oh, inikah hukuman darimu?
Hihihi…
Betapa konyolnya
Dalam tidur pun kau masih membalasku
Aduuh
Prisse-d’Avennes, 2003

No comments: