Cirq de La Vie

Bon, le soleil est belle ce matin
Jalan-jalan, yuk! Ajakmu
D’accord! Jawabku riang, penuh suka menutup duka
Minggu pagi yang cerah
Setelah hari-hari yang melelahkan
Aksi mogok bus kota dan metro
Gerbong-gerbong panjang teronggok kosong di atas rel
Tak bergerak
Setiap orang pun melangkah gontai memenuhi trotoar dan jalanan
Minggu pagi semakin cerah
Setelah hari-hari penuh hujan dan kabut
Titik-titik dingin menyusup lalui pori-poriku
Langit biru indah di utara, burung-burung terbang rendah di atas kepala para pejalan kaki
Bangunan-bangunan tinggi menyala tertimpa surya
Seperti torehan kuas Renoir, Monet dan Manet
Ingin segera kubingkai di dinding kamarku
Di tepian sungai Seine kita asyik menjilati es krim Batiment, beberapa turis pun mendekat
Bertanya di mana bisa membelinya
Kita menjawab sambil tertawa-tawa
Membayangkan berapa jam harus antri di jam makan siang seperti ini
Untung kita lebih pagi, dan memutuskan makan siang setelah menyecap es krim paling terkenal di tengah Seine
Di pulau mungil St-Louis
Sesosok tubuh ramping berbalut kostum mumi Mesir
Berdiri tegak ditengah jembatan Pont-de-la-Tournelle
Tak bergeming hingga berjam-jam lamanya
Ingin kulemparkan 1 senku, tapi kau melarang
Sementara di Indonesia kau begitu penuh sedekah
Itu lain, katamu. Di sini sesen terlalu berharga untuk diri
Lalu kita pun mulai berhitung
Dari La Sorbonne kita menyeberang jalan
Sepanjang jalan Odéon kita segera
survey
Di antara keriuk perut yang semakin lapar
Deretan rumah makan Jepang berjajar
Festival harga di setiap pintunya
Akhirnya kita pun tentukan paket Dejeuner termurah
7-8 euro saja, appetizer hingga
dessert
di sebuah meja dan ruang apik khas Jepang
plus bonus sake hangat sepoci penuh sekali lagi
Kita pun keluar dengan perut penuh

Tapi aku masih lapar
akan cinta
Odéon, 2003



Catacombe

Mari, kita lewati sebuah perjalanan panjang lagi
(di antara sekian banyak perjalanan kita)

Sebuah perjalanan manusia
Bersama ratusan ribu manusia lainnya

Lihat! Tulang-tulang ini mulai sibuk bercerita
Tentang masanya

Gigiku mulai bergemeletuk
Di antara gemeletuk gigi-gigi para tengkorak
Yang bertumpukan dalam timbunan panjang
Sejarah pekat manusia di dalamnya
Meski tawa jadi pilihan utama
Bahagia hanya sepenggal cita
Karna cinta hanyalah asa
Tanganmu tak lagi terulur padaku
Matamu lebih dingin dari rongga mata di sini
Aku berlari-lari kecil mengejarmu
Hanya bayang dalam siluet hitam, jangkung dan melesat tak teraih, akhirnya
Seakan tulangmu enggan menyatu di Catacombe ini
Aku terseok langkahi genangan air di kuburan belulang
Dalam lorong-lorong pendek dan sempit, kelam
Mengulum kegetiranku
Rasa cintaku terkubur di sini
Observatoire-de-Paris, 2003



Rumah Putih Kita Tak lagi Putih

Dua orang polisi sibuk memukuli tong panas berisi
hazelnut
milik penjaja, seorang jejaka berhidung Arab
Pourquoi…?!!!” teriaknya berkali-kali dengan putus asa
Bunyi pentungan berdentum di selaput gendang telingaku

Tepian jalan jadi penuh manusia dengan tatapan duka
Hari ini ditemukan lagi seorang gelandangan tua
sibuk mendekapi lubang asap di trotoar
nafasnya telah hilang dalam kabut pekat rintik salju di pagi ini

Seorang lelaki muda sibuk menyapaku
Dari negara mana, tanyanya
Ia ingin belajar bahasa, katanya

Kuberlari pada sosok-sosok tegap dan tampan polisi belia
Tersenyum tegas penuh simpatik dan ayom
Kusuka

Dalam gelap malam, sesosok perempuan renta berjongkok
di atas kursi tunggu di lorong stasiun metro
Air seninya mengalir di antaranya
Tas kumal dan mantel buluknya menutupi aurat
Mulutnya tak henti penuh kata tak tertata
Tanpa jiwa

Pemabuk tua mencegatku
Nona Cina, katanya
Punya rokok? Pintanya lewat seringai gigi hitam berlumut
Aku menggeleng keras dan terus berlalu
Kakiku segera bergegas meninggalkannya
Dalam jubah lapuk dan wajah kotor
Serta bau busuknya

Hari ini jalan tol menyandang maut
Terjadi kecelakaan puluhan mobil beruntun
Akibat sekian kilometer air salju beku di atasnya

Seekor anjing hitam besar mengendusku
Rantai lehernya bergemerincing berisik
Lelaki tua bersamanya
Dengan tas koper di tangan dan botol arak di lengannya
Sibuk menenggak sisa-sisa dunia
Di pinggir jalanan dan lubang-lubang berkepul

Seorang perempuan renta lainnya
Berkerudung hitam
Berlutut di tengah trotoar
Angin dingin menyapu wajahku
Memandang isi kotak di tangannya
Belum terlempar satu sen pun di dalamnya
(Sapamu pun tak lagi merdu di tiap pagi)
Airmataku menitik perlahan

C’est La Vie …
Rambuteau, 2003


Comme si, comme ça

Termenung penuh renung
Parc-de-Belleville saksi hidupku dalam bisu
Kulayangkan pandang
Pada bangunan rumah susun berbata merah di hadapanku
Di ujung atas rue de Belleville
Penuh kaum migran berbagai ras
Mata sipit, kulit coklat, hitam besar, kuning mungil, hidung bangir
Kulihat pecintamu ada di situ
Bertahun-tahun dalam hidupmu
Tepekur tak mampu tafakur
Janji sehidup semati yang tak lagi akur
Hatinya penuh bilur
(kar’na kamu tak pernah bersyukur)

Hei!
Kamu di mana?

(kakimu memang dua
tapi hatimu hanya satu)

Kamu mau ke mana?

Porte-des-Lillas, 2003



Salut!

Ça va ?

Apa khabar, hariku?

Sorot putih keemasan masuki ruang tidurku
Terbuka jendela kalbuku
Angin dingin sejuk lewati
Mata hatiku makin terbuka
Terima kasih, Tuhan

Au revoir, mon cheri
Au revoir, mon amour
Au revoir, mon cher amour


Paris du Sud, 2003



Hari-Hari Tak lagi Sama

Tepuk riuh penonton menyekap ruang
Gegap gempita dalam raung
Theatre-de-La-Ville seolah akan roboh
Kita bergegas ke studio soundnya
Titip rekam, katamu pada petugas
Biduanita terkenal asal Maroko di atas panggung
Melantunkan puluhan irama gambus
Aku hampir tertidur
Dalam rebak suitan para penonton
Di kanan kiriku sibuk mengayun pinggul
Kursi-kursi makin sempit
Penduduk Paris keturunan Aljir menyerukan salut
Pekikan khas bangsa Timur Tengah
Lewati lidah-lidah bergeletar
Lebih menarik daripada di depan sana
Hari-hari di tiap ruang panggung tak lagi spektakuler
Penari Khatak pun tak bangkitkan mataku
Jajaran pemusik India bagai deretan bisu
Alunan tembang Sunda terdengar sayup
Syair lagu pendendang dari Uzbekistan melayang
Tiupan bambu para suku Hmong kehilangan magis
Aku pun makin tertidur
Dalam mati

Abbesses, 2003



L’Arc en Ciel

Roissy tinggal setitik noktah
Dalam pandangku yang kian nanar
Jauh di bawah sayap pesawatku
Yang semakin cepat berkelepak melesat menembus awan

Kulihat aku tak lagi melayang,
Di antara warna-warni bias mentari
Pelangi antara Paris dan Jakarta, di mana lagi?

Masih terasa ciuman kita
Di menit-menit terakhir
Bibir kita saling menghisap
Mereguk tetes-tetes akhir sang cinta
Tak peduli para penjaga bandara
Butir-butir air mataku nyaris runtuh

Aku tak ingin tinggalkan kamu!!! Teriakku diam
Tangisku dalam palung kelu di dadaku
Lalu kulihat sorot matamu yang makin membisu
Penuh ragu
Hatiku pias
Jantungku ngilu
Cintaku betapa pilu
Kupandang wajahmu makin lama makin menjauh
Sementara aku makin tertarik ke atas
Melesat dalam kapsul kaca elevator bandara
Tak ingin kulepas sedetik pun
Pandangku tertancap di titikmu
Pandangmu pun begitu
(betulkah?)

Perlahan sosokmu makin mengecil dan hilang tertelan ruang
Alat teleport Tuhan tengah bekerja
Aih…, sakit sekali dada ini
Serasa lembaran sutraku tengah terobek-sobek
Album kita sudah ada, tapi belum terbuka
Nostalgia pun jadi maya
(Petugas duane di depanku hampir tak tersapa)
Perjalanan panjangku kini menorehkan ukiran duka
Cinta mulai terasa dusta
Serta nista
Wajahku penuh simbah air duka
Kutenggak botol ke-tiga anggur kecewa
Biarlah aku nyenyak dalam mimpi
Akan cinta dan setia
Hamparan luas pegunungan putih bersalju di bawah sana
Dinginnya terasa hingga ke sumsum tulangku
Di balik jendela tebal pesawat ini

Aku menggigil

(di Dubai pun aku masih mencari sosokmu)

15 jam Paris–Jakarta
Tak lagi kulewati pelangi, sang busur langit cintaku

Emirates Airways, 2003



Lalu Aku [Kini]


Avoir un appétit d’oiseau

Dubai, 2003

(seorang Carmen
tercabik-cabik
dan terbunuh…
bahwa
cinta
tengah mati
dalam kehidupannya)




Jiwa Tak Berjiwa

Tubuh tanpa jiwa
Bagai seonggok kain kafan terbujur dalam liang dunia
Sebab keabadian hanyalah jiwa bermakna



Le corps sans ame plus n’estre en sacrifice.
Jour de la mort mis en nativité:
L’esprit divin fera l’ame felice,
Voyant le verbe en son eternité

[Nostradamus: Quatrain ke-13, Abad II]


Catatan:
Kupalingkan wajahku pada Michel di Provence
Cerita cintaku penuh bahagia ada di quatrain mana?
Wajah bijaknya tersenyum dan menengadah
Jakarta, 2003

No comments: