Kumpulan Puisi, Prosa dan Foto

Melayang

Mmmhh….
Terbanglah aku dalam pelukanmu
Segera, kasihku…

Lelaki di sebelahku mengajakku bicara
Sendiri, tanyanya
Ya, jawabku sambil menyantap masakan Arab di pingganku
Kemana, tanyanya lagi
Ke Paris, jawabku
Oh, sama, katanya. Ia rindu keluarga.
Ada kenalan di sana, tanyanya sekali lagi
Oh, ya..tentu
[wajahmu yang tirus segera membentang di kelopak mataku]
aku tersipu dan lelaki itu tahu
Segera menikah?
I wish.., jawabku makin dalam sipu
Kuala Lumpur berkelip-kelip tinggal titik-titik cahaya
Dubai menjadi halte terlama
Untunglah ada teman bercakap di seberang jok kosong kananku
Selalu mendampingiku
Lewati duane, dalam antrian begitu lama dan panjang
Hanya ada satu gate, katanya
Kulihat lainnya dalam perbaikan
Ayo, kita minum sebentar, ajaknya menunjuk beberapa kafe
Ah, tidak.. terima kasih
Aku ingin berkelana sebentar di bandara sebesar ini
Dalam subuh indah bersama bayangmu
Seleret cahaya matahari pagi mulai menyeka malam butaku
Kusiapkan overcoat dari seorang sahabatku di Surabaya
Gundukan es berlapis-lapis tergelar lebar di balik jendela
Sebotol kecil vin menemaniku
Wow, derai nafasku beraroma karbonat
Aku melayang
Lalu
Pandang indah putih bersinar pun berlalu
Roissy dalam kelabu
Pucuk-pucuk pinus terdiam dalam kabut
Seorang gadis Australia dan pacarnya berseru kagum di jok belakangku
Oh, indahnya…katanya
Sejenak aku termangu
(tak kutemukan kebenarannya!)
Ada yang berhenti dalam dadaku, sendu
Aku tak mengerti
But, anyway
Here I am!
Aku berduyun-duyun senang, dalam sosok-sosok jangkung
Lewati lagi para duane serta sekian pertanyaan
Lelaki sebelahku mengantarku mencari bagasi
Ah, untunglah ketemu semua
Lihat, peta Indonesia yang kau pesan sudah bersamaku
Begitu panjang bagai sebuah lembing
Melesat dan melayang!…. lewati benua demi benua…ke arahmu
Charles-de-Gaulle, 2002



Buta

Pandang penuh putih
Di bawah kepak sayap pesawat terbangku
Berkilau
Menyilaukan mata hatiku
Aku terbuta
Aku telah seia
Pada sebuah pinta
Merajut sutra
Bersama
Di langkah berdua
Dalam satu rasa
Satu nada
Satu cita
Satu cinta
Semata, demikian kau kata
Tangan dan kakimu siap melangkah pergi
Menuju huma kita
Aku pun sekata
Dan semakin terbuta
Emirates Airways, Des’ 2002



Kucium wajahmu di Roissy

Meski kulihat wajahmu kuyu & lelah
[Selelah hatiku kemana pada hati yang tulus!]
Kucium wajahmu saat ini
Bayang indah bunga mawar merah muda merekah
Hadir (s’lalu) dalam lubuk hatiku
Mataku penuh kembang warni
Semerbak baunya, melayang dan melekat
Tak lekang jaman, serasa..!
Kucium wajahmu (tak pernah terbersit sebelumnya)
Dalam bentangan sayapku
Yang telah melampaui setengah bumi ini
Melesat di atas perbukitan putih luas
Menuju sosokmu (yang tak pernah kusuka tadinya)
Dengan pandang pasti
Merengkuhku dalam ayom
Bagai memasuki sebuah chateau
Senyumku tak pernah henti
Mengukirkan kalimat : Je t’aime, mon amour
Charles-de-Gaulle, 2002



Bien Venue!

Paris menyambutku penuh hujan rintik
& tubuh-tubuh tinggi menjulang dalam manteau mereka
[aku seperti dikelilingi para malaikat asing
dengan seribu satu tugasnya]
aku
tak ingin terjebak
kedinginan akan waktu
tak tentu
selalu berpusar
dalam arus yang tak tampak
aku
bagai memasuki hidup
tak kasat mata
begitu maya
sosokmu kulihat tenggelam
di antara tubuh-tubuh tinggi itu
engkau,
malaikat yang mana?
[aku hanya ingin bahagia]
Roissy, 2002



Langkah Awal

Plakk!!
wajahku tertampar angin dingin
di detik aku keluar dari bandara Roissy
begitu keras dan mengejutkan
tanganku beku
tertatih berusaha mencengkeram tas dan koperku,
sambil tak peduli pada pucuk-pucuk pinus berlambaian
berjajar di sepanjang jalan bandara
Ow, Paris begitu berkabut dan abu-abu
di luar sudut utara ini berwarna dingin
tiba-tiba rasa hangat melayang pergi dari dadaku
tak sebotol vin pun mampu mencegahnya
atau
estimasiku terlampau tinggi
dan ekspetasiku terlampau menjulang jauh ke depan
melampaui batas nisbi
kekuatan manusia
dan skenarionya
tak pasti
Charles-de-Gaulle, 2002



Tibaku di Porte-d’Orléans

Tubuhku kuyup
Memasuki apartemen di ujung selatan kota Paris
Ya, ampun…masih ada 5 lantai lagi (!)

sejuta voltase ada dalam darahku
aku menggigil atas nama cinta
kau bopong aku memasuki pintu itu, seperti pintaku
ingin kurasakan lagi dan lagi
cintamu yang kuharap tak kan pupus
bau cat & pelitur tajam menusuk hidung
debu tembok menguar
tapi ruang kuno ini telah menarik hatiku
kuciumi cintaku di sini
meski dingin menyengat
angin lewat kisi-kisi jendela rusak berderak
kubisikkan pada sosok yang tengah berlutut di hadapanku
kupandang lekat matamu yang memohon
kunikmati ciumanmu di sekujur punggung tanganku
Oui, mon amour..
Je t’aime aussi…”


Paris, 2002




Meremas Wajahmu

Dalam detik yang kugenggam
Kuremas wajahmu
Dan kuusapkan dalam jiwaku
Agar kurasakan getar bening rasa cintamu
Cinta kita
Dalam cita-cita kita
Betapa indah memoar-memoar itu
Ingin kuhidupkan kembali dari tidurnya
Terasa tanganku masih membelai
Salju-salju yang tengah melayang
Menerpa wajahku
Lewati jendela dapur kita
Begitu sejuk dan penuh harapan
Bayang-bayang pasti menjelang
Bangunan Palais d’Amour milik kita
Hanya kita & anak-cucu kita
Prisse-d’Avennes, 2002



Aku Luruh dalam Dekapan Paris

Serabut putih dingin menerpa wajahku
Mencair bagai es lilin
Kujilati bagai kanak-kanakku dulu
Kaki 40 tahunku melompat-lompat riang gembira
Seringai ria tak lepas tersungging di bibirku
Mataku berbinar-bintang
menggenggam tetesan salju melayang
Tanganku melambai gapai ribuan burung
Kutukarkan rasa senangku pada remah-remah roti
Puluhan paruh sibuk mematuk-catuk
Sayap yang terdiam dan pinggul yang melenggang
Ke sana dan kemari, tak lelah
Genit dan gesit melenggok mencari serpihan roti
Di sela-sela kursi
Roti baguette yang kau beli beberapa hari yang lalu
Kini kering tak terjamah lagi
Kecuali oleh puluhan merpati gendut ini
Aku terpukau
Tak ingin berakhir

Rue-de-Rivolli, Desember 2002




Ranting Kering

Ranting bercabang indah di tiap pohon
Tak kulihat daun selembar pun
Cahaya bulan berarak lewati sudut-sudutnya
Betapa cantiknya
Jalanan panjang membentang berkilauan
Lelampu dan kendaraan lalu lalang
Bintang-bintang bercahaya
Hatiku berkelip-kelip
Merasakan kerlip cintamu
Hangat di dada
[meski kaki & tanganku mulai membiru kaku]
Paris, 2002



Mimpi?

serpih-serpih salju mulai berhamburan
mulai terasa ‘Paris’ dan hawa Eropa di sekitarku
kubuka lebar ‘jendela’ku
kuraih serpih-serpih salju melayang
seperti ribuan peri putih beterbangan
kucecap, kurasakan bahwa ini nyata
bahwa cintaku bukan mimpi
atau pun sekedar angan
aku di sini
bersama cintaku
yang siap merengkuhku
mengangkatku dari puing-puing kehancuranku
siap membangun mahligai
berdua
bersama
kekal abadi
[kupandang tak percaya, wajahmu penuh kesungguhan
bersimpuh di kakiku
dan melamarku sekali lagi
memohon kepastian dariku]
Prisse-d’Avennes, Paris di 2002



Setiap Pagi yang Buta di Paris

pagi buta jam 7
siap makan pagi & mandi
dalam kebekuan menuju titik nol derajat
kumamah roti panggang berlapis keju dan madu
kusruput kopi-susu-manis serta yaout
dan segelas jeruk peras darimu
pagi buta jam 8
tubuhku telah wangi
dan bersiap diri
dengan manteau tebal dan berat bermerk mahal
sepatu membalut kakiku yang mulai membengkak
pagi buta jam 9
bagai subuh dini hari di Jakarta
kulangkahkan kakiku cepat
bersama langkah-langkah seribu para pekerja
di sepanjang jalan Général-Leclerc
masuk dalam gorong-gorong stasiun metro
menuruni trap-trap berkelok-kelok
asap putih tebal menguar dari tiap lubang tanah
aku mulai terhisap dalam pusaran
Paris 14, 2002



Manusia Gorong-Gorong

naik metro artinya :
kumasuki tanah berpuluh-puluh meter ke dalamnya
menembus bagai Antareja
melesat bagai Antasena
di antara dalamnya sungai Seine
yang jauh di atasku
atau
yang jauh di bawahku
aku terpesona
bahwa aku telah jadi manusia gorong-gorong di Paris
[seperti terseret di sebuah kota tikus

akukah si tikus itu?
sibuk mengerat sepotong cinta? cintaku bagai jamur di lorong-lorong gorong-gorong sepanjang-lebar kota Paris]
Stasiun Metro, Porte-d’Orléans, Paris, 2002



Selamat Pagi

Bergegas kunaiki bus nomor 38 ke arah Châtelet
Bonjour, monsieur….”
Bonjour, madame…
Bonjour, madamoiselle…
Merci…
aku ingin berhenti
di Jardin-de-Luxembourg
ingin kurasakan angin dingin meniup
di antara pokok-pokok ranting
dan bongkahan beku salju di jalanan
tapi aku tak ingin berhenti
kau genggam tanganku s’lalu
dengan sepenuh hatimu
aku bergegas kembali
mencari wajahmu
dan ingin segera
menggenggam tanganmu, s’lamanya
St.-Michel, 2002



Hei! Ketemuan yuk!”

Suara ceria Tiarma Dame Ruth Sirait meletuskan percik api semangatku sebagai sesama wong Indonesia.
Gagang telepon ini tak jadi dingin. Deringnya serasa merdu.
Sementara tanganmu sibuk merengkuhku, membelaiku, tak bisa diam
Bertanya siapa itu di seberang kabel sana.
Suara di sana kembali mencairkan salju beku di tepian jendela
Aku pengen jalan-jalan pake bus yang tingkat atas dan outdoor, kata koncoku dari Bandung di seberang sana.
Hahh? Kataku, dingin-dingin begini????? Gile lu! komentarku
Ampun deh… aku masih shock dengan cuaca yang menamparku ini. Lagi pula, aku baru tiga hari di sini! Aku ga tahu harus kemana dan dimana sekarang ini di bagian Paris. Peta kota pun belum kujamah.
Celetukmu mengantar solusi. “Ayo, kalau mau ke sana aku antar kamu dulu, baru aku ke radio.”
Ah, ya… sekaligus wawancara ya, tanyaku. Kau pun mengangguk dan setuju temen artisku ini masuk dalam berita di radio tempatmu nyambi kerja.
Maklum, ia tengah diundang hadir dalam peristiwa lomba fashion di Paris dan celotehnya riang saat cerita ketika ketemu dan bersalaman dengan Pierre Cardin dan sebagainya. Aku sangat turut gembira mendengarnya. Jiwa jurnalisku tiba-tiba menggelegak.
Aah…, tapi cuaca begini dingiin… Badanku tak sanggup bergerak, kaku dan jemariku tak bisa rasakan apa-apa, memegang gagang telepon pun jadi susah dan gemetar.
Aku bingung lagi. T’us pulangku gimana? Tanyaku lagi. Kau jemput? Gampang, katamu. Kamu bisa naik bus kota dan berhenti di Alesia. Alesia itu mana?? Tanyaku kalut. Ah…, aku gamang sekali mau berangkat. Sungguh aku terlalu takut tersesat, tak mampu yakinkan diri. Bingung sendiri.
Akhirnya aku berteriak pada si performance artist di sana. Ga jadi deh…, sorry…! Kupandang diriku penuh kesal.
Paris, 2002



Rendevous

pias wajahku
terasa kelu
telah lebih bermenit-menit kutunggu
di stasiun métro St.-Michel, langit telah gelap
dirimu tak juga nampak
(ah, ternyata stasiun sedang dalam perbaikan)
aku takut dan panik tak dapat jumpamu
meski kita telah seia dan sekata
aku bergegas menuju Cité
berlari lagi ke Châtelet-Les-Halles
berbalik lagi ke Cité
kulewati Pont-du-Neuf berkali-kali
patung-patung bisu di gereja Notre-Dame tertawa
menyakiti gendang telingaku hingga dalam metro
lalu, tiba-tiba ayunan kereta berhenti
di pintu yang sama kau mencoba masuki metroku
wajah kita bersirobok, aku terpana tak percaya
segera kuhamburkan diriku ke dirimu, dadamu hangat
betapa takutnya aku kehilangan dirimu
[aikon-aikon ini, ya Tuhan!]
Hôtel de Ville, Paris, 2002


Do’a

Diam seribu bahasa
dalam kubah agung Notre-Dame
kulihat patung-patung suci bicara
kudengar nyanyian surga
kuraba dengan hatiku
kesyahduan itu
(tak rasa…)
sinar berpendar warna-warni
seleret emas cahaya sore
tampilkan
karya agung
Da Vinci dan kode rahasianya
lewati jendela-jendela kaca mozaik
sisi-sisi kubah di atapnya
serta lilin-lin kecil bertaburan di tiap ruang dan sudut
segera aku berdo’a
agar kisah cintaku tak pernah habis
hanya di sini
aku ingin
cinta ini tetap bersemi
abadi
dalam sebuah mahligai
Cité, 2002

No comments: